Kamis, 28 Januari 2016

MENGANALISIS ISU DAN KEBIJAKAN NASIONAL

MENGANALISIS ISU DAN KEBIJAKAN NASIONAL

 

II.                PEMBAHASAN

2.1     Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Duke dan Canady (1991) mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu:
(1)  kebijakan sebagai penegasan maksud dan tujuan,
(2) kebijakan sebagai sekumpulan keputusan lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan, melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya,
(3) kebijakan sebagai panduan tindakan diskresional,


(4) kebijakan sebagai strategi yang diambil untuk memecahkan masalah,
(5) kebijakan sebagai perilaku yang bersanksi,
(6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substantif,
(7) kebijakan sebagai keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan
(8) kebijakan sebagai pengaruh pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran terhadap implementasi sistem.


Ketika memberikan pengantar untuk paparan sejumlah kasus kebijakan pendidikan di beberapa negara maju, Hough (1984) memberikan kontribusi sangat berarti bagi para pengkaji kebijakan pendidikan. Kontribusi ini terutama menyangkut isu-isu konseptual dan teoretik yang mampu memberikan kerangka pemahaman utuh bagi analisis kebijakan pendidikan.
Hough (1984) juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan. Bertolak dari konseptualisasi ini, misalnya, ujian nasional merupakan salah satu bentuk kebijakan pendidikan. Ujian nasional memadai untuk dikategorikan sebagai kebijakan karena: (1) dengan jelas dimaksudkan untuk mencapai seperangkat tujuan, (2) senantiasa menyertakan rencana pelaksanaan, (3) merupakan program pemerintah, (4) merupakan seperangkat keputusan yang dibuat oleh lembaga dan atau pejabat pendidikan, (5) menghadirkan sejumlah pengaruh, akibat, dampak dan atau konsekuensi, (6) dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lembaga terkait.

2.2       Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Menurut Masnuh dalam (Amnur,2007:160) pendidikan merupakan suatu kegiatan, proses, hasil dan sebagai ilmu yang pada dasarnya merupakan sebagai usaha sadar yang dilakukan manusia sepanjang hayat guna memenuhi kebutuhan hidup. Pandangan ini secara umum telah menjadi istilah konvensional di masyarakat dan sarana manusia memperoleh pengetahuan secara berkesinambungan. Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2009-2014 yang memiliki orientasi basis ekonomi sesuai dengan rancangan strategis pendidikan nasional 2009-2014 yang mengacu pada amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, amandemen ke empat pasal 31 tentang pendidikan,Ketetapan MPR Nomor VII/ MPR/ 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangun nasional, uu nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, uu nomor 33 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, uu nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keunganan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, PP Nomor 20 tahun 2004 tentang rencana kerja dan anggaran kementerianaaa/lembaga, PP Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan dan PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan, baik di tingkat nasional maupun daerah dan tingkat satuan pendidikan. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di indonesia tentunya sangat mempengaruhi eksitensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Kemudian keberadaan dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan pemerintah pusat yang dipimpin oleh presiden dan seorang wakil presiden, jajaran kementerian, dan jajaran badan/ lembaga kelengkapan eksekutif negara adalah para pembuat kebijakan yang bisa mempengaruhi dunia pendidikan nasional.
Namun, khususnya pada tingkat nasional, para pengambil keputusan khusus masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda).Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.
Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
1.    Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
2.    Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
3.    Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP.
4.    Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru.
5.    Pemberian insentif kepada guru-guru negeri.
6.    Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah.
7.    Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana.
8.    Peniningkatan profesionalisme guru dan dosen melalui penyelenggaraan prfesi guru dan dosen untuk memperoleh sertifikat pendidik dan menjadi guru dan dosen profesional.
9.    Penerapan pendidikan budaya dan karakter bangsa bagi smua jenjang pendidikan.
Pada praktiknya, setiap kebijakan mengandung multi tujuan yaitu untuk menjadikan kebijakan itu sebagai kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama. Kebijakan pendidikan nasional disebut memperkuat peran negara dengan memastikan 20% anggaran negara untuk pendidikan nasional, namun di sisi lain ada pasal yang memperkuat peran publik dengan adanya komite-komite sekolah. Ada pula tujuan dinamisasi dalam bentuk mendorong terbentuknya sekolah-sekolah swasta dan tujuan stabilisasi dengan adanya standar-standar pendidikan yang harus diikuti. Ada pula tujuan regulasi seperti batasan-batasan setiap jenjang pemerintahan dalam melakukan peran pendidikan nasional dan tujuan deregulasi dengan adanya ruang-ruang bagi masyarakat untuk mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah non-negara (Nugroho, 2011:112).
Kebijakan publik, dengan demikian, selalu mengandung multi fungsi, untuk menjadikan kebijakan sebagai kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama. Meski pemahaman ini penting, hal yang lebih penting lagi bagi pemerintah atau lmbaga publik adalah berkenaan dengan perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan.

2.3       Pengertian Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur berpikir yang sudah lama dikenal dan dilakukan dalam sejarah manusia, paling tidak sejak manusia mampu melahirkan dan memelihara pengetahuan dalam kaitannya dengan tindakan.
Beberapa ahli memiliki pengertian yang berbeda dalam mengartikan analisis kebijakan, diantaranya:
1.      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia analisis adalah (1) penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb); (2) penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.
2.      Dunn : mengungkapkan bahwa analisis kebijakan adalah suatu prosedur untuk menghasilkan informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan berikut tindakan pemecahannya.
3.      Patton  : analisis kebijakan adalah suatu rangkaian proses dalam menghasilkan kebijakan.
4.      Duncan MacRae : analisis kebijakan merupakan suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai, dan membuahkan pikiran dalam rangka upaya memecahkan masalah publik.
5.      Stokey dan Zekhauser : analisis kebijakan sebagai suatu proses rasional dengan menggunakan metode dan teknik rasional.

Dari beberapa pengertian di atas dapat kita tarik pengertian yang lebih rinci bahwa analisis kebijakan merupakan cara atau prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Jadi analisis kebijakan pendidikan merupakan cara memecahkan masalah yang ada dalam kebijakan-kebijakan tentang pendidikan menggunakan pemahaman yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.

2.4       Aktor Analisis Kebijakan Pendidikan

Sejak berdirinya badan penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada permulaan tahun 1970-an, berbagai bentuk kegiatan penelitian, penilaian, dan pengembangan pendidikan telah banyak dilakukan untuk menunjang proses pembuatan keputusan. Badan ini terus berkembang dengan pesat, khususnya dalam memberikan masukan pemikiran terhadap proses pembangunan pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis sejak Repelita I. Badan ini terus berperan dalam melahirkan berbagai gagasan pembaharuan pendidikan sehingga proses pembangunan pendidikan telah melewati masa-masa yang penuh tantangan.

Para analisis kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut untuk menguasai teknik-teknik penelitian dan pengembangan tetapi juga dituntut untuk menguasai isu-isu pendidikan yang relevan baik isu pendidikan secara internal maupun isu-isu pendidikan dalam kaitannya secara lintas sektoral.

Isu-isu pendidikan secara internal akan meliputi sistem pendidikan berikut komponen-komponennya yang integral, seperti pendidikan dasar (berfungsi menanamkan kemampuan dasar), pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan profesional, pendidikan luar sekolah, serta komponen-komponen penunjang sisitem pendidikan.Isu-isu pendidikan secara eksternal, yang juga sangat penting untuk terus dikaji oleh para analisis kebijakan, menyangkut keterkaitan yang integral antar pendidikan dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, serta kehidupan sosial budaya.

Dalam kaitannya dengan hal-hal di atas suatu lembaga penelitian dan pengembangan pendidikan perlu mencurahkan perhatiannya untuk memenuhi tantangan yang dimaksudkan. Kemampuan lembaga penelitian dan pengembangan dalam melaksanakan analisis kebijakan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan gagasan-gagasan pembaharuan berdasarkan isu-isu yang realistis dan sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi yang sama pentingnya ialah kemampuan dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang dihasilkan tersebut agar benar-benar terwujud dalam bentuk kebijakan pemerintah yang dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.Dalam sejarahnya, badan ini terus meningkatkan fungsinya sebagai badan pembaru sistem pendidikan nasional. Dari periode Repelita I berikutnya, pergeseran fungsi badan ini semakin terasa terutama dalam menjalankan fungsinya mempersiapkan bahan kebijakan jangkah menengah dan jangka panjang.  

Di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, proses pengambilan kebijakan public telah diatur baik oleh Undang-undang No. 2 Tahun 1989, Peraturan Pemerintah maupun kebijakan Depdikbud itu sendiri. tentang proses pelaksanaan analisis kebijakan sebagai suatu sistem telah diungkapkan secara sistematis oleh Penelaah sektor Pendidikan, yang dilaksanakan oleh Balitbang—Depdikbud bekerjasama dengan proyek IEES (Improving the Efficency System Project) pada tahun 1986.

Salah satu lembaga penelitian yang melakukan analisis kebijakan pendidikan yakni Smeru. Smeru adalah sebuah lembaga penelitian independen yang melakukan penelitian dan pengkajian kebijakan publik secara profesional dan proaktif, serta menyediakan informasi akurat, tepat waktu, dengan analisis yang objektif mengenai berbagai masalah sosial-ekonomi dan kemiskinan yang dianggap mendesak dan penting bagi rakyat Indonesia.

2.5       Ruang Lingkup Analisis Kebijakan Pendidikan

Ruang lingkup kegiatan analisis kebijakan pendidikan meliputi:
1.      Pengumpulan data statistik pendidikan
2.      Pengembangan kurikulum.
3.      Sistem pengujian
4.      Penelitian pendidikan dan kebudayaan.
5.      Teknologi komunikasi pendidikan.
6.      Pengembangan analisis kebijakan pendidikan dan kebudayaan.

Kegiatan yang terakhir yakni kegiatan pada nomor 6 berfungsi untuk menyiapkan bahan-bahan rumusan kebijakan pendidikan, baik kebijakan jangka panjang, menengah, dan jangka pendek, maupun bahan-bahan untuk kebijakan departemen yang setiap saat diperlukan oleh pengambil keputusan.

Salah satu fungsi paling menonjol dari Badan Penelitian dan Pengembangan adalah Analisis dan Perumusan Bahan Kebijakan dengan tujuan untuk membantu pemerintah dalam menyiapkan dan merumuskan bahan-bahan kebijakan sesuai dengan isu-isu penting pendidikan yang berkembang dalam dunia penelitian, pengembangan, dan masyarakat luas.

Dalam suatu proyek yang dinamakan Proyek Perencanaan dan Kebijakan Pendidikan (Education Policy and Planning Project) atau proyek EPP yang mendapat bantuan USAID (The United States Agency for International Development). Proyek tersebut resmi dilaksanakan pada bulan Juli 1984 dengan tujuan pokok: “meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui perumusan kebijakan dan perencanaan yang lebih baik yang didasarkan pada informasi yang lebih lengkap dan teliti serta metode analisis yang lebih baik terhadap informasi tersebut.”

Sejak dilaksanakannya proyek tersebut, berbagai upaya telah dilakukan khususnya dalam melakukan identifikasi terhadap berbagai masalah pendidikan sebagai sasaran dalam melakukan analisis kebijakan. Sejak saat itu analisis kebijakan dilaksanakan melalui koordinasi di antara berbaga unit di lingkungan Depdikbud. Hasilnya adalah usulan-usulan kebijakan yang sangat berguna dalam mempersiapkan Rumusan kebijakan Tahunan Mendikbud dan Naskah Repelita.


 
2.6    Metodologi Analisis Kebijakan Pendidikan

Secara metodologis, analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu metodologi kuantitaif dan kualitatif.Hampir dapat dipastikan bahwa pendekatan dalam analisis kebijakan seluruhnya bersifat kualitatif. Hal ini karena analisis kebijakan pada dasarnya merupakan suatu proses pemahaman terhadap masalah kebijakan sehingga proses pemahaman terhadap masalah kebijakan sehingga dapat melahirkan suatu gagasan dan pemikiran mengenai cara-cara pemecahannya.

Metodologi kualitatif dalam analisis kebijakan lebih tertarik untuk melakukan pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah-masalah kebijakan daripada melihat permasalahan kebijakan untuk kepentingan generalisasi. Metodologi kualitatif lebih suka menggunakan teknik analisis mendalam (in dept analysis) yaitu mengkaji masalah kebijakan secara kasus per kasus karena metodologi kualitatif ini yakin bahwa sifat masalah yang satu akan berbeda sifat masalah yang lain. Yang dihasilkan dari metodologi kualitatif ini bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman yang mendalam terhadap suatu masalah.

Metodologi kuantitatif pada dasarnya merupakan bentuk yang lebih operasional dari paradigma empirisme yang sering juga disebut pendekatan “kuantitatif-empiris”. Pada dasarnya pendekatan kuantitatif ini tertarik dengan pengukuran secara obyektif terhadap masalah sosial. Untuk dapat dilakukan pengukuran, setiap masalah sosial terlebih dahulu dijabarkan ke dalam beberapa komponen  masalah, indikator, dan variabel-variabelnya. Tujuan utama metodologi kuantitatif ini bukan menjelaskan suatu masalah, tetapi menghasilkan suatu generalisasi. Generalisasi adalah suatu pernyataan kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu masalah kebijakan yang diperkirakan akan berlaku pada suatu parameter populasi tertentu. Dengan generalisasi yang dihasilkan ini, para peneliti atau analisis kebijakan dituntut dapat menghasilkan alternatif kebijakan yang dapat diterapkan secara menyeluruh dalam lingkup yang lebih luas.


2.7       Permasalahan-permasalahan Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Sistem pendidikan nasional dalam era otonomi daerah.Dengan adanya UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 telah terjadi perubahan sistem pemerintahan yang sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap daerah memiliki kewenangan untuk  mengatur dan mengurus sistem pemerintahannya sendiri guna mensejahterakan masyarakat di daerahnya.

Otonomi pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat hak dan kewajiban pemerintah, dan pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun.

Telaah kritis sistem pendidikan nasional dalam era otonomi daerah diarahkan kepada beberapa sektor dengan harapan dapat terlihat di bagian mana pendidikan nasional dikembangkan dan bagian mana pendidikan yang terkait dengan otonomi daerah dapat diangkat, diantaranya:
a.       Format Pendidikan Nasional
Format pendidikan nasional yang menerjemahkan bahwa pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional seharusnya direformasi pemahamannya dari pendidikan yang sentralistik ke pendidikan yang demokratik, dari pendidikan yang uniform ke arah pendidikan yang diversifikatif, dari satu ukuran hasil pendidikan ke arah ukuran masing-masing sesuai dengan keadaan anak baik budaya, sosial, dan psikologi yang berbeda. Oleh karena itu sistem pendidikan yang pantas diatur secara nasional hanya meliputi, hal-hal:
1)      Kesamaan jenjang pendidikan yakni TK, SD-SLTP, SMU, dan Perguruan Tinggi.
2)      Jenis pendidikan sebatas pada pendidikan umum dan pendidikan kejuruan.
3)      Kesamaan kurikulum yang memiliki perekat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yakni Pancasila, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan.

b.      Diversifikasi Pendidikan
Jenis pendidikan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, meskipun masih tetap berada dalam naungan pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Macam prrogram pendidikan lebih lanjut dari pendidikan umum dan pendidikan kejuruan itu diselenggarakan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Selain diversifikasi dalam jenis pendidikan dapat diberlakukan pada kurikulum, penyelenggaraan pendidikan, cara pembelajaran, dan pemanfaatan sumber belajar.

Kurikulum yang terbaik diberlakukan pada daerah tertentu selain kurikulum yang dianggap memiliki perekat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat ditentukan oleh masing-masing bahkan oleh sekolah. Yang penting kurikulum itu memiliki muatan tuntutan sesuai dengan kebutuhan anak, kebutuhan orang tua dan kebutuhan masyarakat lokal maupun masyarakat global.

Penyelenggaraan penddikan menjadi bagian terpenting untuk diotonomikan, disesuaikan dengan situasi dan kondisi anak baik budaya, sosial, dan psikologi mereka, serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dan lingkungan nyata anak masing-masing.Untuk itu otonomi daerah jangan hanya sekedar diwujudkan sebagai pengalihan kekuasaan pusat ke daerah, akan tetapi harus mencerminkan kehidupan demokrasi bangsa yang terwujud dalam penyelenggaraan pendidikan nasional kita sebagai bangsa yang merdeka. Berdasarkan pertimbangan itu maka otonomi penyelenggaraan pendidikan yang diwujudkan dalam “School Based Management” (SBM).

Di negara kita SBM jangan diartikan sebagai otonomi dalam pengelolaan dana, karena kehidupan rakyat bangsa kita masih berada di bawah garis ambang ekonomi normal. Tekanan utama SBM adalah pemberian otonomi dalam penyelenggaraan akademik setiap lembaga pendidikan di negara kita. Pendidikan yang mendasarkan pada SBM memberi peluang anak-anak kita terlatih hidup kontektual sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing  anak.

Pendidikan yang kontekstual itu menuntut adanya proses pembelajaran yang berorientasi kepada“Community Based Education” (CBE) yang menggunakan kenyataan hidup masyarakat sebagai pengalaman belajar mereka. Pendidikan kontekstual memerlukan dukungan kemerdekaan memafaatkan lingkungan anak masing-masing menjadi sumber belajar dan cara pembelajarannya. Oleh karena itu “juklak” dan “juknis” yang bersifat uniform diberlakukan bagi semua lingkungan yang berbeda jelas tidak menguntungkan.

c.       Orientasi Pembelajaran
Orientasi pembelajaran juga harus diubah dari pendekatan “tekstual” ke arah pendekatan “faktual”. Pembelajaran yang berorientasi “tekstual” hanya menghasilkan manusia-manusia penghafal dan hanya menghasilkan manusia-manusia penjiplak ilmu dan teknologi yang meniadakan kreativitas.  Pembelajaran yang berorientasi faktual membimbing anak-anak kita terlatih bergaul dengan kenyataan kontekstual dengan lingkungan hidup mereka, dengan demikian mereka mampu mendeteksi unsur-unsurnya, mampu mengonseptualisasikan makna dari kenyataan itu, dan di sinilah mereka memperoleh kemampuan dan pengetahuan dar hasil kegiatannya sendiri.

Terkait dengan masalah pembelajaran ini, UNESCO telah merumuskan empat pilar belajar, yakni : learning to know, learning to to do, learning together, and learning to be yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menerapkan aktivitas pembelajaran siswa. Di negara kita di antara empat pilar belajar itu yang kita laksanakan baru “learning to know” . Hal ini karena bangsa kita kliru dalam menyikapi ilmu dan teknologi. Kita menempatkan diri menjadi konsumen ilmu dan teknologi dari produsen dengan sistem pembelajaran delivery sistems bukan discovery dan inquiry. Sehingga membuat pemahaman terhadap ilmu bagi bangsa kita adalah ilmu-ilmu masa lampau dengan memperbesar dominasi kekuatan hafalan, bukan kreativitas. Padahal hafalan hanya didukung IQ yang hanya mendukung keberhasilan nilai, sedangkan keberhasilan hidup di masyarakat sangat ditentukan oleh CQ, EI, dan AQ yang menuntut anak-anak kita memerlukan sosialisasi dengan dunia kehidupan nyata. Oleh karena itu otonomi daerah diharapkan mampu mereformasikan kegiatan pembelajaran yang satu arah menjadi sistem pembelajaran yang banyak arah dengan lebih memerdekakan penyelenggara dan pelaku pendidikan.

d.      Ukuran keberhasilan belajar
Hasil belajar yang diukur dengan satu alat ukur seperti sekarang ini hanya akan menghasilkan ukuran semu. Ukuran hasil   belajar yang realistik adalah yang didasarkan kepada apa yang benar-benar dipelajari anak melalui pikiran, pengindraan, konseptualisasi dan kesimpulan sendiri yang dapat disajikan dalam bentuk dokumen karya siswa dan dijadikan kumpulan hasil evaluasi kemajuan anak.
Ukuran keberhasilan pendidikan seharusnya tidak hanya ditentukan oleh kualitas “out put” akan tetapi harus diukur dari kualitas “out come” yakni keberhasilan anak-anak kita dalam meraih kehidupan nyata berdasarkan tingkat pendidikan mereka. Bila diperhatikan sekarang ini maka “out come” hasil pendidikan kita hanya mampu menawarkan ijazah untuk meraih kehidupan, mereka tidak mampu mandiri dan bahkan tidak memiliki jati diri. Masyarakat kita masih berada pada tingkatan “paper syndrome”.

Persoalannya adalah seberapa tanggap daerah dalam era otonomi daerah ini mampu menangkap isyarat kelemahan pendidikan yang terjadi selama ini, untuk tidak mewarisi dan diteruskan dalam membangun pendidikan daerah tetapi sebaliknya daerah mampu membuka lembaran baru mengusahakan pendidikan kita menjadi barang nyata, berguna bagi bangsa dalam peningkatan profil manusia Indonesia dan SDM bangsa demi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat.

e.       Penghambat pendidikan
Bangsa ini terlalu ambisius ingin menyamakan pendidikan di seluruh nusantara dengan sistem sentralisasi dan uniformitas. Kita sendiri ingkar terhadap wawasan kita sendiri bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman baik lingkungan, suku, bahasa, kebiasaan yang diwujudkan dalam tatanan sosial dan budaya.

Akibat dari keragaman keadaan bangsa ini maka terbukti sentralisasi dan uniformitas pendidikan hanya menghasilkan kemunduran dalam perjalanan sejarah bangsa bila dibandingkan dengan kemajuan bangsa-bangsa lain di sekitar kita. Pengakuan kita terhadap keanekaragaman bangsa tidak diimbangi dengan diversifikasi penyelenggaraan pendidikan kita, kurikulum kita, sistem managemen penyelenggaraan pendidikan kita dan pengukuran terhadap hasil pendidikan kita. Kesemuanya itu membuat penyelenggara pendidikan kita tidak kreatif dan inovatif, dan akhirnya pendidikan kita beku yang hanya menghasilkan manusia tergantung.

f.       Otonomi pendidikan dalam otonomi daerah
Otonomi daerah memberi konskuensi upaya peningkatan kualitas pendidikan menjadi tanggung jawab daerah. Meskipun demikian, maka tidak berarti daerah harus terlalu banyak terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Daerah dapat memikirkan hal-hal: mencarikan model yang cocok dengan pendidikan daerahnya, memfasilitasi dana, prasarana dan sarana pendidikan, menyiapkan pedoman pendidikan bagi sekolah yang membutuhkan.

 

Tidak ada komentar: