2.2 Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Menurut Masnuh dalam (Amnur,2007:160) pendidikan merupakan suatu
kegiatan, proses, hasil dan sebagai ilmu yang pada dasarnya merupakan sebagai
usaha sadar yang dilakukan manusia sepanjang hayat guna memenuhi kebutuhan
hidup. Pandangan ini secara umum telah menjadi istilah konvensional di
masyarakat dan sarana manusia memperoleh pengetahuan secara berkesinambungan.
Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2009-2014 yang memiliki
orientasi basis ekonomi sesuai dengan rancangan strategis pendidikan nasional
2009-2014 yang mengacu pada amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, amandemen ke
empat pasal 31 tentang pendidikan,Ketetapan MPR Nomor VII/ MPR/ 2001 tentang Visi
Indonesia Masa Depan, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
keuangan negara, undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan
pembangun nasional, uu nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, uu nomor
33 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, uu nomor 33 tahun 2004 tentang
perimbangan keunganan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, PP Nomor 20 tahun
2004 tentang rencana kerja dan anggaran kementerianaaa/lembaga, PP Nomor 19
tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan dan PP Nomor 66 Tahun 2010
tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada
pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan, baik
di tingkat nasional maupun daerah dan tingkat satuan pendidikan. Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai sebuah lembaga negara
yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di
indonesia tentunya sangat mempengaruhi eksitensi dan prosesi pendidikan yang
diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat
dalam negeri maupun luar negeri. Kemudian keberadaan dewan perwakilan rakyat,
dewan perwakilan daerah dan pemerintah pusat yang dipimpin oleh presiden dan
seorang wakil presiden, jajaran kementerian, dan jajaran badan/ lembaga
kelengkapan eksekutif negara adalah para pembuat kebijakan yang bisa mempengaruhi
dunia pendidikan nasional.
Namun, khususnya pada tingkat nasional, para pengambil keputusan khusus
masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan
Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan
Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan
oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah
dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah
pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda).Khususnya
dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda
sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan
di tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan
perundang-undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.
Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk
membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang
berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum
terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan
cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini
hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di
daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah
program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan
pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu
pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
1.
Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA
/EBTANAS
2.
Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti
BP3.
3.
Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran
ketrampilan di sekolah SLTP.
4.
Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan
murid baru.
5.
Pemberian insentif kepada guru-guru negeri.
6.
Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan
peralatan praktik sekolah.
7.
Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian
beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana.
8.
Peniningkatan profesionalisme guru dan dosen melalui
penyelenggaraan prfesi guru dan dosen untuk memperoleh sertifikat pendidik dan
menjadi guru dan dosen profesional.
9. Penerapan
pendidikan budaya dan karakter bangsa bagi smua jenjang pendidikan.
Pada praktiknya, setiap kebijakan mengandung multi tujuan yaitu untuk
menjadikan kebijakan itu sebagai kebijakan yang adil dan seimbang dalam
mendorong kemajuan kehidupan bersama. Kebijakan pendidikan nasional disebut
memperkuat peran negara dengan memastikan 20% anggaran negara untuk pendidikan
nasional, namun di sisi lain ada pasal yang memperkuat peran publik dengan
adanya komite-komite sekolah. Ada pula tujuan dinamisasi dalam bentuk mendorong
terbentuknya sekolah-sekolah swasta dan tujuan stabilisasi dengan adanya
standar-standar pendidikan yang harus diikuti. Ada pula tujuan regulasi seperti
batasan-batasan setiap jenjang pemerintahan dalam melakukan peran pendidikan
nasional dan tujuan deregulasi dengan adanya ruang-ruang bagi masyarakat untuk
mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah non-negara (Nugroho, 2011:112).
Kebijakan publik, dengan demikian, selalu mengandung multi fungsi, untuk
menjadikan kebijakan sebagai kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong
kemajuan kehidupan bersama. Meski pemahaman ini penting, hal yang lebih penting
lagi bagi pemerintah atau lmbaga publik adalah berkenaan dengan perumusan,
implementasi, dan evaluasi kebijakan.
2.3 Pengertian Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur
berpikir yang sudah lama dikenal dan dilakukan dalam sejarah manusia, paling
tidak sejak manusia mampu melahirkan dan memelihara pengetahuan dalam kaitannya
dengan tindakan.
Beberapa ahli memiliki pengertian yang berbeda
dalam mengartikan analisis kebijakan, diantaranya:
1.
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia analisis adalah (1) penyelidikan terhadap suatu
peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya
(sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb); (2) penguraian suatu pokok atas
berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian
untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.
2.
Dunn :
mengungkapkan bahwa analisis kebijakan adalah suatu prosedur untuk menghasilkan
informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan berikut tindakan pemecahannya.
3.
Patton :
analisis kebijakan adalah suatu rangkaian proses dalam menghasilkan kebijakan.
4.
Duncan MacRae :
analisis kebijakan merupakan suatu disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk
menjelaskan, menilai, dan membuahkan pikiran dalam rangka upaya memecahkan
masalah publik.
5.
Stokey dan
Zekhauser : analisis kebijakan sebagai suatu proses rasional dengan menggunakan
metode dan teknik rasional.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita
tarik pengertian yang lebih rinci bahwa analisis kebijakan merupakan cara atau
prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk memecahkan
masalah-masalah kebijakan. Jadi analisis kebijakan pendidikan merupakan cara
memecahkan masalah yang ada dalam kebijakan-kebijakan tentang pendidikan
menggunakan pemahaman yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
2.4 Aktor Analisis Kebijakan Pendidikan
Sejak
berdirinya badan penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan pada permulaan tahun 1970-an, berbagai bentuk
kegiatan penelitian, penilaian, dan pengembangan pendidikan telah banyak
dilakukan untuk menunjang proses pembuatan keputusan. Badan ini terus
berkembang dengan pesat, khususnya dalam memberikan masukan pemikiran terhadap
proses pembangunan pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan secara
sistematis sejak Repelita I. Badan ini terus berperan dalam melahirkan berbagai
gagasan pembaharuan pendidikan sehingga proses pembangunan pendidikan telah
melewati masa-masa yang penuh tantangan.
Para analisis
kebijakan dalam bidang pendidikan tidak hanya dituntut untuk menguasai
teknik-teknik penelitian dan pengembangan tetapi juga dituntut untuk menguasai
isu-isu pendidikan yang relevan baik isu pendidikan secara internal maupun
isu-isu pendidikan dalam kaitannya secara lintas sektoral.
Isu-isu
pendidikan secara internal akan meliputi sistem pendidikan berikut komponen-komponennya
yang integral, seperti pendidikan dasar (berfungsi menanamkan kemampuan dasar),
pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan profesional, pendidikan
luar sekolah, serta komponen-komponen penunjang sisitem pendidikan.Isu-isu pendidikan
secara eksternal, yang juga sangat penting untuk terus dikaji oleh para
analisis kebijakan, menyangkut keterkaitan yang integral antar pendidikan
dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi,
ketenagakerjaan, lingkungan hidup, serta kehidupan sosial budaya.
Dalam kaitannya
dengan hal-hal di atas suatu lembaga penelitian dan pengembangan pendidikan
perlu mencurahkan perhatiannya untuk memenuhi tantangan yang dimaksudkan.
Kemampuan lembaga penelitian dan pengembangan dalam melaksanakan analisis
kebijakan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan gagasan-gagasan pembaharuan
berdasarkan isu-isu yang realistis dan sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi
yang sama pentingnya ialah kemampuan dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasan
yang dihasilkan tersebut agar benar-benar terwujud dalam bentuk kebijakan
pemerintah yang dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.Dalam sejarahnya, badan
ini terus meningkatkan fungsinya sebagai badan pembaru sistem pendidikan
nasional. Dari periode Repelita I berikutnya, pergeseran fungsi badan ini
semakin terasa terutama dalam menjalankan fungsinya mempersiapkan bahan
kebijakan jangkah menengah dan jangka panjang.
Di lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, proses pengambilan kebijakan public telah
diatur baik oleh Undang-undang No. 2 Tahun 1989, Peraturan Pemerintah maupun
kebijakan Depdikbud itu sendiri. tentang proses pelaksanaan analisis kebijakan
sebagai suatu sistem telah diungkapkan secara sistematis oleh Penelaah sektor
Pendidikan, yang dilaksanakan oleh Balitbang—Depdikbud bekerjasama dengan
proyek IEES (Improving the Efficency System Project) pada tahun 1986.
Salah satu
lembaga penelitian yang melakukan analisis kebijakan pendidikan yakni Smeru.
Smeru adalah sebuah lembaga penelitian independen yang melakukan penelitian dan
pengkajian kebijakan publik secara profesional dan proaktif, serta menyediakan
informasi akurat, tepat waktu, dengan analisis yang objektif mengenai berbagai
masalah sosial-ekonomi dan kemiskinan yang dianggap mendesak dan penting bagi
rakyat Indonesia.
2.5 Ruang Lingkup Analisis Kebijakan Pendidikan
Ruang lingkup kegiatan analisis kebijakan
pendidikan meliputi:
1.
Pengumpulan
data statistik pendidikan
2.
Pengembangan
kurikulum.
3.
Sistem
pengujian
4.
Penelitian
pendidikan dan kebudayaan.
5.
Teknologi
komunikasi pendidikan.
6.
Pengembangan
analisis kebijakan pendidikan dan kebudayaan.
Kegiatan yang terakhir yakni kegiatan pada
nomor 6 berfungsi untuk menyiapkan bahan-bahan rumusan kebijakan pendidikan,
baik kebijakan jangka panjang, menengah, dan jangka pendek, maupun bahan-bahan
untuk kebijakan departemen yang setiap saat diperlukan oleh pengambil
keputusan.
Salah satu fungsi paling menonjol dari Badan
Penelitian dan Pengembangan adalah Analisis dan Perumusan Bahan Kebijakan dengan
tujuan untuk membantu pemerintah dalam menyiapkan dan merumuskan bahan-bahan
kebijakan sesuai dengan isu-isu penting pendidikan yang berkembang dalam dunia
penelitian, pengembangan, dan masyarakat luas.
Dalam suatu proyek yang dinamakan Proyek
Perencanaan dan Kebijakan Pendidikan (Education Policy and Planning Project)
atau proyek EPP yang mendapat bantuan USAID (The United States Agency
for International Development). Proyek tersebut resmi dilaksanakan pada
bulan Juli 1984 dengan tujuan pokok: “meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia melalui perumusan kebijakan dan perencanaan yang lebih baik yang
didasarkan pada informasi yang lebih lengkap dan teliti serta metode analisis
yang lebih baik terhadap informasi tersebut.”
Sejak dilaksanakannya proyek tersebut, berbagai
upaya telah dilakukan khususnya dalam melakukan identifikasi terhadap berbagai
masalah pendidikan sebagai sasaran dalam melakukan analisis kebijakan. Sejak
saat itu analisis kebijakan dilaksanakan melalui koordinasi di antara berbaga
unit di lingkungan Depdikbud. Hasilnya adalah usulan-usulan kebijakan yang
sangat berguna dalam mempersiapkan Rumusan kebijakan Tahunan Mendikbud dan
Naskah Repelita.
2.6 Metodologi Analisis Kebijakan Pendidikan
Secara metodologis, analisis kebijakan dapat
dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu metodologi kuantitaif dan
kualitatif.Hampir dapat dipastikan bahwa pendekatan dalam analisis kebijakan
seluruhnya bersifat kualitatif. Hal ini karena analisis kebijakan pada dasarnya
merupakan suatu proses pemahaman terhadap masalah kebijakan sehingga proses
pemahaman terhadap masalah kebijakan sehingga dapat melahirkan suatu gagasan
dan pemikiran mengenai cara-cara pemecahannya.
Metodologi kualitatif dalam analisis kebijakan
lebih tertarik untuk melakukan pemahaman secara mendalam terhadap suatu
masalah-masalah kebijakan daripada melihat permasalahan kebijakan untuk
kepentingan generalisasi. Metodologi kualitatif lebih suka menggunakan teknik
analisis mendalam (in dept analysis) yaitu mengkaji masalah kebijakan
secara kasus per kasus karena metodologi kualitatif ini yakin bahwa sifat
masalah yang satu akan berbeda sifat masalah yang lain. Yang dihasilkan dari
metodologi kualitatif ini bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman yang
mendalam terhadap suatu masalah.
Metodologi kuantitatif pada dasarnya merupakan
bentuk yang lebih operasional dari paradigma empirisme yang sering juga disebut
pendekatan “kuantitatif-empiris”. Pada dasarnya pendekatan kuantitatif ini
tertarik dengan pengukuran secara obyektif terhadap masalah sosial. Untuk dapat
dilakukan pengukuran, setiap masalah sosial terlebih dahulu dijabarkan ke dalam
beberapa komponen masalah, indikator, dan variabel-variabelnya. Tujuan
utama metodologi kuantitatif ini bukan menjelaskan suatu masalah, tetapi
menghasilkan suatu generalisasi. Generalisasi adalah suatu pernyataan kebenaran
yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu masalah kebijakan yang
diperkirakan akan berlaku pada suatu parameter populasi tertentu. Dengan
generalisasi yang dihasilkan ini, para peneliti atau analisis kebijakan
dituntut dapat menghasilkan alternatif kebijakan yang dapat diterapkan secara
menyeluruh dalam lingkup yang lebih luas.
2.7 Permasalahan-permasalahan Kebijakan Pendidikan di
Indonesia
Sistem pendidikan nasional dalam era otonomi
daerah.Dengan adanya UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 telah terjadi perubahan sistem
pemerintahan yang sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sistem pemerintahannya
sendiri guna mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
Otonomi pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan
Nasional No 20 tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga negara,
orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan kewajiban
masyarakat pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9,
masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat hak dan kewajiban pemerintah, dan
pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara
yang berusia 7-15 tahun.
Telaah kritis sistem pendidikan nasional dalam
era otonomi daerah diarahkan kepada beberapa sektor dengan harapan dapat
terlihat di bagian mana pendidikan nasional dikembangkan dan bagian mana
pendidikan yang terkait dengan otonomi daerah dapat diangkat, diantaranya:
a. Format Pendidikan Nasional
Format pendidikan nasional yang menerjemahkan
bahwa pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional seharusnya
direformasi pemahamannya dari pendidikan yang sentralistik ke pendidikan yang
demokratik, dari pendidikan yang uniform ke arah pendidikan yang
diversifikatif, dari satu ukuran hasil pendidikan ke arah ukuran masing-masing
sesuai dengan keadaan anak baik budaya, sosial, dan psikologi yang berbeda.
Oleh karena itu sistem pendidikan yang pantas diatur secara nasional hanya
meliputi, hal-hal:
1) Kesamaan jenjang pendidikan yakni TK, SD-SLTP,
SMU, dan Perguruan Tinggi.
2) Jenis pendidikan sebatas pada pendidikan umum
dan pendidikan kejuruan.
3) Kesamaan kurikulum yang memiliki perekat
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yakni Pancasila, Bahasa Indonesia
dan Kewarganegaraan.
b. Diversifikasi Pendidikan
Jenis
pendidikan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, meskipun
masih tetap berada dalam naungan pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Macam
prrogram pendidikan lebih lanjut dari pendidikan umum dan pendidikan kejuruan
itu diselenggarakan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Selain
diversifikasi dalam jenis pendidikan dapat diberlakukan pada kurikulum,
penyelenggaraan pendidikan, cara pembelajaran, dan pemanfaatan sumber belajar.
Kurikulum yang
terbaik diberlakukan pada daerah tertentu selain kurikulum yang dianggap
memiliki perekat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat ditentukan
oleh masing-masing bahkan oleh sekolah. Yang penting kurikulum itu memiliki
muatan tuntutan sesuai dengan kebutuhan anak, kebutuhan orang tua dan kebutuhan
masyarakat lokal maupun masyarakat global.
Penyelenggaraan
penddikan menjadi bagian terpenting untuk diotonomikan, disesuaikan dengan
situasi dan kondisi anak baik budaya, sosial, dan psikologi mereka, serta
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dan lingkungan nyata anak
masing-masing.Untuk itu otonomi daerah jangan hanya sekedar diwujudkan sebagai
pengalihan kekuasaan pusat ke daerah, akan tetapi harus mencerminkan kehidupan
demokrasi bangsa yang terwujud dalam penyelenggaraan pendidikan nasional kita
sebagai bangsa yang merdeka. Berdasarkan pertimbangan itu maka otonomi
penyelenggaraan pendidikan yang diwujudkan dalam “School Based Management” (SBM).
Di negara kita
SBM jangan diartikan sebagai otonomi dalam pengelolaan dana, karena kehidupan
rakyat bangsa kita masih berada di bawah garis ambang ekonomi normal. Tekanan
utama SBM adalah pemberian otonomi dalam penyelenggaraan akademik setiap
lembaga pendidikan di negara kita. Pendidikan yang mendasarkan pada SBM memberi
peluang anak-anak kita terlatih hidup kontektual sesuai dengan keadaan
lingkungan masing-masing anak.
Pendidikan yang kontekstual itu menuntut adanya
proses pembelajaran yang berorientasi kepada“Community Based Education”
(CBE) yang menggunakan kenyataan hidup masyarakat sebagai pengalaman belajar
mereka. Pendidikan kontekstual memerlukan dukungan kemerdekaan memafaatkan
lingkungan anak masing-masing menjadi sumber belajar dan cara pembelajarannya.
Oleh karena itu “juklak” dan “juknis” yang bersifat uniform diberlakukan bagi
semua lingkungan yang berbeda jelas tidak menguntungkan.
c. Orientasi Pembelajaran
Orientasi pembelajaran juga harus diubah dari
pendekatan “tekstual” ke arah pendekatan “faktual”. Pembelajaran yang
berorientasi “tekstual” hanya menghasilkan manusia-manusia penghafal dan hanya
menghasilkan manusia-manusia penjiplak ilmu dan teknologi yang meniadakan
kreativitas. Pembelajaran yang berorientasi faktual membimbing anak-anak
kita terlatih bergaul dengan kenyataan kontekstual dengan lingkungan hidup
mereka, dengan demikian mereka mampu mendeteksi unsur-unsurnya, mampu
mengonseptualisasikan makna dari kenyataan itu, dan di sinilah mereka
memperoleh kemampuan dan pengetahuan dar hasil kegiatannya sendiri.
Terkait dengan masalah pembelajaran ini, UNESCO
telah merumuskan empat pilar belajar, yakni : learning to know, learning to
to do, learning together, and learning to be yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam menerapkan aktivitas pembelajaran siswa. Di negara kita di antara empat
pilar belajar itu yang kita laksanakan baru “learning to know” . Hal ini
karena bangsa kita kliru dalam menyikapi ilmu dan teknologi. Kita menempatkan
diri menjadi konsumen ilmu dan teknologi dari produsen dengan sistem
pembelajaran delivery sistems bukan discovery dan inquiry. Sehingga
membuat pemahaman terhadap ilmu bagi bangsa kita adalah ilmu-ilmu masa lampau
dengan memperbesar dominasi kekuatan hafalan, bukan kreativitas. Padahal
hafalan hanya didukung IQ yang hanya mendukung keberhasilan nilai, sedangkan
keberhasilan hidup di masyarakat sangat ditentukan oleh CQ, EI, dan AQ yang
menuntut anak-anak kita memerlukan sosialisasi dengan dunia kehidupan nyata.
Oleh karena itu otonomi daerah diharapkan mampu mereformasikan kegiatan
pembelajaran yang satu arah menjadi sistem pembelajaran yang banyak arah dengan
lebih memerdekakan penyelenggara dan pelaku pendidikan.
d. Ukuran keberhasilan belajar
Hasil belajar yang diukur dengan satu alat ukur
seperti sekarang ini hanya akan menghasilkan ukuran semu. Ukuran hasil belajar yang realistik adalah yang didasarkan
kepada apa yang benar-benar dipelajari anak melalui pikiran, pengindraan,
konseptualisasi dan kesimpulan sendiri yang dapat disajikan dalam bentuk
dokumen karya siswa dan dijadikan kumpulan hasil evaluasi kemajuan anak.
Ukuran keberhasilan pendidikan seharusnya tidak
hanya ditentukan oleh kualitas “out put” akan tetapi harus diukur dari
kualitas “out come” yakni keberhasilan anak-anak kita dalam meraih
kehidupan nyata berdasarkan tingkat pendidikan mereka. Bila diperhatikan
sekarang ini maka “out come” hasil pendidikan kita hanya mampu
menawarkan ijazah untuk meraih kehidupan, mereka tidak mampu mandiri dan bahkan
tidak memiliki jati diri. Masyarakat kita masih berada pada tingkatan “paper
syndrome”.
Persoalannya adalah seberapa tanggap daerah
dalam era otonomi daerah ini mampu menangkap isyarat kelemahan pendidikan yang
terjadi selama ini, untuk tidak mewarisi dan diteruskan dalam membangun
pendidikan daerah tetapi sebaliknya daerah mampu membuka lembaran baru mengusahakan
pendidikan kita menjadi barang nyata, berguna bagi bangsa dalam peningkatan
profil manusia Indonesia dan SDM bangsa demi peningkatan kesejahteraan
kehidupan masyarakat.
e. Penghambat pendidikan
Bangsa ini terlalu ambisius ingin menyamakan
pendidikan di seluruh nusantara dengan sistem sentralisasi dan uniformitas.
Kita sendiri ingkar terhadap wawasan kita sendiri bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang memiliki keanekaragaman baik lingkungan, suku, bahasa, kebiasaan
yang diwujudkan dalam tatanan sosial dan budaya.
Akibat dari keragaman keadaan bangsa ini maka
terbukti sentralisasi dan uniformitas pendidikan hanya menghasilkan kemunduran
dalam perjalanan sejarah bangsa bila dibandingkan dengan kemajuan bangsa-bangsa
lain di sekitar kita. Pengakuan kita terhadap keanekaragaman bangsa tidak
diimbangi dengan diversifikasi penyelenggaraan pendidikan kita, kurikulum kita,
sistem managemen penyelenggaraan pendidikan kita dan pengukuran terhadap hasil
pendidikan kita. Kesemuanya itu membuat penyelenggara pendidikan kita tidak
kreatif dan inovatif, dan akhirnya pendidikan kita beku yang hanya menghasilkan
manusia tergantung.
f. Otonomi pendidikan dalam otonomi daerah
Otonomi daerah memberi konskuensi upaya
peningkatan kualitas pendidikan menjadi tanggung jawab daerah. Meskipun
demikian, maka tidak berarti daerah harus terlalu banyak terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan. Daerah dapat memikirkan hal-hal: mencarikan model
yang cocok dengan pendidikan daerahnya, memfasilitasi dana, prasarana dan
sarana pendidikan, menyiapkan pedoman pendidikan bagi sekolah yang membutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar