KARTIKA ARIEFIANTHY A. PUTRI DAN SUTARDJI CALZOUM BACHRI DALAM MEMANDANG
PERAN PEMUDA DI MASA KINI
Apakah yang diberikan puisi kepada kita? Pasti ada
banyak jawaban atas pertanyaan tersebut. “kebebasan” sebagai ruang yang
diberikan puisi kepada kita, artinya kebebaan untuk berekspresi dan memaknai
puisi yang dibuat pengarangnya. Dalam hal ini puisi yang menggambarkan
kebebasan misalnya puisi yang berkenaan dengan pemuda. Pemuda yang sejatinya
merupakan tonggak sebuah peradapan. Presiden Indonesia pertama Soekarno pernah
berkata “Berikan
aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1(satu)
pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” begitu
pentingnya peran pemuda, sampai-sampai presiden pertama Indonesia berkata
demikian.
Di zaman Indonesia dijajah bangsa lain pemuda lah
yang menjadi ujung tombak menolak adanya penjajahan di Indonesia. Pemuda
menjadi garda terdepan atau tamengnya bangsa Indonesia. Untuk mengenang
perjuangan pemuda dibuatlah puisi-puisi mengenai pemuda.
Sudah banyak puisi yang diciptakan mengenai pemuda.
Tapi kali ini akan dibahas puisi yang ditulis oleh Kartika Ariefianti A. Putri
yang berjudul “Hilangnya Pemudaku”.
HILANGNYA PEMUDAKU
Oleh : Kartika Ariefianthy A putri
Kemanakah pemudaku kini
Ia ada tapi tidak terasa
Dimanakah pemudaku kini
Ia ada tapi tidak nyata
Adakah kau ingat dengan sumpah
yang kami buat
Adakah kau tahu makna di dalamnya
Adakah kau ingat dengan isinya
Hai... para pemuda
Kemanakah bahasamu
Dimanakah bahasa yang dahulu
ingin kau pelajari
Apakah kau telah lupa
Perjuangan kami untuk
mendapatkannya
Kau lantang membacakannya
Tapi kau lupa setelah itu
Aku bersedih dengan sikapmu
Kau seolah seperti orang
kehilangan arah
Padahal aku telah menuntunmu
Wahai ... pemuda
Ingatlah kelak akan generasi
penerusmu
Mereka akan bertanya
Dimanakah bahasa kakek nenek
moyangku
Yang entah kau mampu jelaskan
atau tidak
Dalam puisi “Hilangnya Pemudaku” pengarang
mempertanyakan bahasa yang sejatinya adalah identitas bangsa. Indonesia
merupakan negara yang kaya akan budaya dan kaya akan bahasa dan sebagai
pemersatu digunakanlah bahasa Indonesia. Di dalam puisi Kartika menyindir
bagaimana pemuda sekarang telah banyak melupakan bahasa yang dahulu
diperjuangkan dan sekarang di sia-siakan. Kebanyakan pemuda sekarang banyak
lebih bangga jika menggunakan bahasa dari negara lain. Kecintaan pengarang pada
bangsa dan tanah air tertuang dalam pemaknaan isi puisi. Perasaan yang
ditimbulkan dalam puisi yaitu tentang kerinduan dan kegelisahan. Artinya
pengarang merasa rindu dengan bahasa yang menjadi identitas diri masyarakat indonesia yang secara
mati-matian diperjuangkan agar dapat digunakan. Pengarang juga merasa khawatir
jika nantinya bahasa kebanggaan para leluhur akan lenyap seiring berjalannya
waktu karena pemudanya yang bersifat apatis.
Pengarang menggunakan tipografi bebas rata kiri dan
menggunakan huruf besar pada setiap awal kalimat tanpa tanda baca. Maksud
penyesuaian tipografi jenis ini untuk membantu lebih mengintensifkan makna dan
rasa atau suasana puisi. Rima dan ritme pada puisi terjadi pengulangan bunyi
vokal a dan i bait pertama, /Kemanakah
pemudaku kini/, /Ia ada tapi tidak terasa/, /Dimanakah pemudaku kini/, /Ia ada
tapi tidak nyata/.
Pengarang yang menyadari betapa pentingnya bahasa
sebagai identitas mempertanyakan pada kaum pemuda yang kini mulai
sedikit-sedikit meninggalkan bahasanya. Bahasa yang dahulu diperjuangkan hingga
akhirnya dapat di lantangkan. Dalam hal ini Kartika mempertanyakan peranan
pemuda saat ini. Besarnya sebuah negara tercermin dari pemudanya sebagai agen of change.
Nada dan suasana yang dimunculkan dalam puisi berupa
nada himbauan dan suasana iba pengarang yang ditimbulkan pada pembaca /Wahai... pemuda/, /Ingatlah kelak akan
generasi penerusmu/, /Mereka akan bertanya/, /Dimakah bahasa kakek nenek
moyangku/, /Yang entah kau mampu jelaskan atau tidak/. Perasaan khawatir tersebut ditujukan pada kaum pemuda.
Pemuda seyogyanya tidak lagi menjadi generasi penerus bangsa melainkan sebagai
generasi penggerak perpotensi agar memberikan semangat dan rasa cinta tanah
air.
Dalam puisi pengarang menyampaikan pesan berupa rasa
iba dan kegelisahan karena melihat pemuda dewasa ini tidak lagi peduli akan
sejarah negaranya, mereka sudah kehilangan jati diri sebagai bangsa yang
memegang teguh bahasanya, tak ada lagi makna yang berarti dibalik sumpah pemuda
yang setiap tanggal 28 oktober dibacakan. Para pemuda sekarang lebih terlena
dengan kemajuan teknologi dan menciptakan bahasanya sendiri yang mereka anggap
lebih gaul daripada menggunakan bahasa Indonesia.
Puisi “Hilangnya pemudaku” memungkinkan pembaca
lebih mudah memahami karena tidak banyak makna yang tersembunyi didalamnya.
Kartika memang tidak banyak menggunakan gaya bahasa yang sulit, beliau lebih
senang untuk menyampaikan maksud secara langsung agar lebih mengena di hati
pembacanya.
Permajasan yang terdapat dalam puisi “Hilangnya
Pemudaku” karya Kartika didominasi dengan gaya bahasa ansonansi tetapi tidak
menutup kemungkinan gaya bahasa lain didalamnya untuk muncul seperti gaya
bahasa anafora, efifora, simile, aliterasi.
Dalam puisi “Hilangnya pemudaku” dapat kita lihat
bahwa Kartika lebih banyak menggunakan perulangan vokal /a/.
Gaya bahasa
anafora dapat ditemukan pada bait ketiga,
Adakah kau ingat dengan sumpah yang kami buat
Adakah kau tahu makna di dalamnya
Adakah kau ingat dengan isinya
Kata adakah kau pada bait di atas memberikan
penekanan tertentu terhadap maksud pengarang. Dalam hal ini pengarang
mempertanyakan tentang peran pemuda saat ini. Kartika membubuhi gaya bahasa
anfora untuk memberikan pemaknaan tersendiri mengenai sebuah sumpah pemuda dan
sikap yang selama ini tidak terpatri pada diri pemuda. Kata adakah kau pada bait tersebut ditujukan
untuk para pemuda yang saat ini rasa nasionalisnya telah terkikis oleh
kesenangan dan ketidak pedulian. Pembalikan dari anafora terdapat juga epifora,
seperti pada bait berikut.
Kemanakah pemudaku kini
Ia ada tapi tidak terasa
Dimanakah pemudaku kini
Ia ada tapi tidak nyata
Permajasan
simile dapat dilihat pada bait keempat,
/Aku bersedih dengan sikapmu/, /Kau seolah
seperti orang kehilangan arah/. /Padahal aku telah menuntunmu/. Dalam bait tersebut
pengarang memberikan pengadaian bahwa pemuda saat ini seperti orang yang
kehilangan arah, artinya pemuda tidak lagi memandang bahwa sumpah pemuda
sebagai acuan dalam memaknai hidup untuk menjadi pemuda sesuai dengan harapan
nenek moyang di era perjuangan.
Puisi “Hilangnya Pemudaku” karya Kartika menjelaskan
tentang pemuda dan bahasa sebagai identitas bangsanya. Siapa lagi yang akan
membangga negaranya jika kita sendiri tidak mau untuk berbahasa Indonesia. Dalam
hal ini puisi mengenai pemuda juga diciptakan oleh Sutardji
Calzoum Bachri yang berjudul “Pemuda
Dimana Telurmu?”.
WAHAI PEMUDA MANA TELURMU ?
Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?
Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?
Burung jika tak bertelur
Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas
Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga
Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan
Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir
Setelah kurenung-renung
Manusia adalah
burung merenung
Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur
Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah
Wahai para pemuda
Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!
Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas
Menetas kau
Dalam sumpah mereka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?
Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?
Burung jika tak bertelur
Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas
Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga
Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan
Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir
Setelah kurenung-renung
Manusia adalah
burung merenung
Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur
Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah
Wahai para pemuda
Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!
Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas
Menetas kau
Dalam sumpah mereka
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
(2010)
Secara tersirat Sutardji menyampaikan bahwa beliau mempertanyakan
tentang peran pemuda dalam arti bagaimana pemuda berkarya di negeri ini. Kata telurmu bermakna sebuah hasil karya anak
bangsa yang nantinya dapat diwariskan kepada anak cucu.
Sebenarnya kedua puisi yang diciptakan oleh
kedua penyair ditulis berkaitan dengan peringatan sumpah pemuda. Antara Puisi Sutardji dan
Kartika memiliki hipogram dalam penulisanya sama-sama memiliki tipografi bebas dengan
penulisan antar bait bebas dan tidak terikat. Seperti sama-sama membahas
mengenai pemuda di era saat ini, bedanya Kartika lebih memfokuskan pada bahasa
sebagai identitas dan warisan bangsa sedangkan Sutardji lebih kepada hasil
karya yang memungkinkan untuk diwariskan kepada anak cucu.
Menerjemahkan dan menegaskan lagi peran dan kiprah pemuda di tengah
degradasi kehidupan berbangsa kini menjadi suatu hal yang mendesak. Pemuda yang
oleh Soekarno diyakini mampu mengubah dunia seringkali menampakkan dirinya
sebagai antitesis dari keyakinan itu. Kelesuan berpikir, kelalaian untuk
belajar, kealpaan untuk kritis dan pilihan untuk cenderung diam di tengah
anonimitas massa membuat pemuda kehilangan daya taringnya. Kehilangan daya
ini dipertegas bila kita membaca kiprah
pemuda di tengah alur narasi kehidupan berbangsa. Kiprah pemuda yang kita
peringati setiap tahun tidak akan punya makna bila perbuatan mengingat itu
hanya sebagai seremoni dan ritual tahunan. Peringatan sumpah pemuda diharapkan
menjadikan pemuda yang mengerti peranannya sebagai pemuda, tidak hanya menjadi
pemuda yang merusak diri dan negarnya. Jadilah pemuda yang dapat dibanggakan
generasinya, cintailah identitasnya sebagai bangsa Indonesia maka dengan begitu
bangsa lain akan menghargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar