Kamis, 28 Januari 2016

ESAI PUISI




KARTIKA ARIEFIANTHY A. PUTRI  DAN SUTARDJI CALZOUM BACHRI  DALAM MEMANDANG PERAN PEMUDA DI MASA KINI

Apakah yang diberikan puisi kepada kita? Pasti ada banyak jawaban atas pertanyaan tersebut. “kebebasan” sebagai ruang yang diberikan puisi kepada kita, artinya kebebaan untuk berekspresi dan memaknai puisi yang dibuat pengarangnya. Dalam hal ini puisi yang menggambarkan kebebasan misalnya puisi yang berkenaan dengan pemuda. Pemuda yang sejatinya merupakan tonggak sebuah peradapan. Presiden Indonesia pertama Soekarno pernah berkata “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1(satu) pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” begitu pentingnya peran pemuda, sampai-sampai presiden pertama Indonesia berkata demikian.
Di zaman Indonesia dijajah bangsa lain pemuda lah yang menjadi ujung tombak menolak adanya penjajahan di Indonesia. Pemuda menjadi garda terdepan atau tamengnya bangsa Indonesia. Untuk mengenang perjuangan pemuda dibuatlah puisi-puisi mengenai pemuda.
Sudah banyak puisi yang diciptakan mengenai pemuda. Tapi kali ini akan dibahas puisi yang ditulis oleh Kartika Ariefianti A. Putri yang berjudul “Hilangnya Pemudaku”.
HILANGNYA PEMUDAKU
Oleh : Kartika Ariefianthy A putri
Kemanakah pemudaku kini
Ia ada tapi tidak terasa
Dimanakah pemudaku kini                                         
Ia ada tapi tidak nyata

Adakah kau ingat dengan sumpah yang kami buat
Adakah kau tahu makna di dalamnya
Adakah kau ingat dengan isinya

Hai... para pemuda
Kemanakah bahasamu
Dimanakah bahasa yang dahulu ingin kau pelajari
Apakah kau telah lupa
Perjuangan kami untuk mendapatkannya

Kau lantang membacakannya
Tapi kau lupa setelah itu
Aku bersedih dengan sikapmu
Kau seolah seperti orang kehilangan arah
Padahal aku telah menuntunmu

Wahai ... pemuda
Ingatlah kelak akan generasi penerusmu
Mereka akan bertanya
Dimanakah bahasa kakek nenek moyangku
Yang entah kau mampu jelaskan atau tidak


Dalam puisi “Hilangnya Pemudaku” pengarang mempertanyakan bahasa yang sejatinya adalah identitas bangsa. Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan kaya akan bahasa dan sebagai pemersatu digunakanlah bahasa Indonesia. Di dalam puisi Kartika menyindir bagaimana pemuda sekarang telah banyak melupakan bahasa yang dahulu diperjuangkan dan sekarang di sia-siakan. Kebanyakan pemuda sekarang banyak lebih bangga jika menggunakan bahasa dari negara lain. Kecintaan pengarang pada bangsa dan tanah air tertuang dalam pemaknaan isi puisi. Perasaan yang ditimbulkan dalam puisi yaitu tentang kerinduan dan kegelisahan. Artinya pengarang merasa rindu dengan bahasa yang menjadi identitas  diri masyarakat indonesia yang secara mati-matian diperjuangkan agar dapat digunakan. Pengarang juga merasa khawatir jika nantinya bahasa kebanggaan para leluhur akan lenyap seiring berjalannya waktu karena pemudanya yang bersifat apatis.
Pengarang menggunakan tipografi bebas rata kiri dan menggunakan huruf besar pada setiap awal kalimat tanpa tanda baca. Maksud penyesuaian tipografi jenis ini untuk membantu lebih mengintensifkan makna dan rasa atau suasana puisi. Rima dan ritme pada puisi terjadi pengulangan bunyi vokal a dan i bait pertama, /Kemanakah pemudaku kini/, /Ia ada tapi tidak terasa/, /Dimanakah pemudaku kini/, /Ia ada tapi tidak nyata/.
Pengarang  yang menyadari betapa pentingnya bahasa sebagai identitas mempertanyakan pada kaum pemuda yang kini mulai sedikit-sedikit meninggalkan bahasanya. Bahasa yang dahulu diperjuangkan hingga akhirnya dapat di lantangkan. Dalam hal ini Kartika mempertanyakan peranan pemuda saat ini. Besarnya sebuah negara tercermin dari pemudanya sebagai agen of change.
Nada dan suasana yang dimunculkan dalam puisi berupa nada himbauan dan suasana iba pengarang yang ditimbulkan pada pembaca /Wahai... pemuda/, /Ingatlah kelak akan generasi penerusmu/, /Mereka akan bertanya/, /Dimakah bahasa kakek nenek moyangku/, /Yang entah kau mampu jelaskan atau tidak/. Perasaan  khawatir tersebut ditujukan pada kaum pemuda. Pemuda seyogyanya tidak lagi menjadi generasi penerus bangsa melainkan sebagai generasi penggerak perpotensi agar memberikan semangat dan rasa cinta tanah air. 
Dalam puisi pengarang menyampaikan pesan berupa rasa iba dan kegelisahan karena melihat pemuda dewasa ini tidak lagi peduli akan sejarah negaranya, mereka sudah kehilangan jati diri sebagai bangsa yang memegang teguh bahasanya, tak ada lagi makna yang berarti dibalik sumpah pemuda yang setiap tanggal 28 oktober dibacakan. Para pemuda sekarang lebih terlena dengan kemajuan teknologi dan menciptakan bahasanya sendiri yang mereka anggap lebih gaul daripada menggunakan bahasa Indonesia.
Puisi “Hilangnya pemudaku” memungkinkan pembaca lebih mudah memahami karena tidak banyak makna yang tersembunyi didalamnya. Kartika memang tidak banyak menggunakan gaya bahasa yang sulit, beliau lebih senang untuk menyampaikan maksud secara langsung agar lebih mengena di hati pembacanya.
Permajasan yang terdapat dalam puisi “Hilangnya Pemudaku” karya Kartika didominasi dengan gaya bahasa ansonansi tetapi tidak menutup kemungkinan gaya bahasa lain didalamnya untuk muncul seperti gaya bahasa anafora, efifora, simile, aliterasi.
Dalam puisi “Hilangnya pemudaku” dapat kita lihat bahwa Kartika lebih banyak menggunakan perulangan vokal /a/.
Gaya bahasa anafora dapat ditemukan pada bait ketiga,
Adakah kau ingat dengan sumpah yang kami buat
Adakah kau tahu makna di dalamnya
Adakah kau ingat dengan isinya

Kata adakah kau pada bait di atas memberikan penekanan tertentu terhadap maksud pengarang. Dalam hal ini pengarang mempertanyakan tentang peran pemuda saat ini. Kartika membubuhi gaya bahasa anfora untuk memberikan pemaknaan tersendiri mengenai sebuah sumpah pemuda dan sikap yang selama ini tidak terpatri pada diri pemuda. Kata adakah kau pada bait tersebut ditujukan untuk para pemuda yang saat ini rasa nasionalisnya telah terkikis oleh kesenangan dan ketidak pedulian. Pembalikan dari anafora terdapat juga epifora, seperti pada bait berikut.
Kemanakah pemudaku kini
Ia ada tapi tidak terasa
Dimanakah pemudaku kini
Ia ada tapi tidak nyata
Permajasan simile dapat dilihat  pada bait keempat, /Aku bersedih dengan sikapmu/, /Kau seolah seperti orang kehilangan arah/. /Padahal aku telah menuntunmu/. Dalam bait tersebut pengarang memberikan pengadaian bahwa pemuda saat ini seperti orang yang kehilangan arah, artinya pemuda tidak lagi memandang bahwa sumpah pemuda sebagai acuan dalam memaknai hidup untuk menjadi pemuda sesuai dengan harapan nenek moyang di era perjuangan.

Puisi “Hilangnya Pemudaku” karya Kartika menjelaskan tentang pemuda dan bahasa sebagai identitas bangsanya. Siapa lagi yang akan membangga negaranya jika kita sendiri tidak mau untuk berbahasa Indonesia. Dalam hal ini puisi mengenai pemuda juga diciptakan oleh Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Pemuda Dimana Telurmu?”.
WAHAI  PEMUDA MANA TELURMU ?
                                                           
Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?

Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?

Burung jika tak bertelur
Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas

Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga

Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan

Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir

Setelah kurenung-renung
Manusia adalah
burung merenung

Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur

Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah

Wahai para pemuda
Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!

Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas

Menetas kau
Dalam sumpah mereka
Karya: Sutardji Calzoum Bachri  (2010)
Secara tersirat Sutardji menyampaikan bahwa beliau mempertanyakan tentang peran pemuda dalam arti bagaimana pemuda berkarya di negeri ini.  Kata telurmu bermakna sebuah hasil karya anak bangsa yang nantinya dapat diwariskan kepada anak cucu.
Sebenarnya kedua puisi yang diciptakan oleh kedua penyair ditulis berkaitan dengan peringatan sumpah pemuda. Antara  Puisi Sutardji dan Kartika memiliki hipogram dalam penulisanya sama-sama memiliki tipografi bebas dengan penulisan antar bait bebas dan tidak terikat. Seperti sama-sama membahas mengenai pemuda di era saat ini, bedanya Kartika lebih memfokuskan pada bahasa sebagai identitas dan warisan bangsa sedangkan Sutardji lebih kepada hasil karya yang memungkinkan untuk diwariskan kepada anak cucu.
Menerjemahkan dan menegaskan lagi peran dan kiprah pemuda di tengah degradasi kehidupan berbangsa kini menjadi suatu hal yang mendesak. Pemuda yang oleh Soekarno diyakini mampu mengubah dunia seringkali menampakkan dirinya sebagai antitesis dari keyakinan itu. Kelesuan berpikir, kelalaian untuk belajar, kealpaan untuk kritis dan pilihan untuk cenderung diam di tengah anonimitas massa membuat pemuda kehilangan daya taringnya. Kehilangan daya ini  dipertegas bila kita membaca kiprah pemuda di tengah alur narasi kehidupan berbangsa. Kiprah pemuda yang kita peringati setiap tahun tidak akan punya makna bila perbuatan mengingat itu hanya sebagai seremoni dan ritual tahunan. Peringatan sumpah pemuda diharapkan menjadikan pemuda yang mengerti peranannya sebagai pemuda, tidak hanya menjadi pemuda yang merusak diri dan negarnya. Jadilah pemuda yang dapat dibanggakan generasinya, cintailah identitasnya sebagai bangsa Indonesia maka dengan begitu bangsa lain akan menghargai.

Tidak ada komentar: