
BAB II
PEMBAGIAN KALIMAT BERDASARKAN JUMLAH KLAUSA
2.1 Pengertian Klausa
Kridalaksana (2001: 100) mengemukakan bahwa klausa adalah satuan
gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan
predikat dan memunyai potensi untuk menjadi kalimat. Parera (1988:21)
mengatakan bahwa sebuah kalimat yang memenuhi salah satu pola dasar kalimat
inti dengan dua atau lebih unsur disebut klausa.
Pola dasar kalimat inti merupakan sebuah klausa tunggal. Sebuah konstruksi
ketatabahasaan disebut klausa apabila konstruksi memenuhi salah satu unsur pola
dasar kalimat inti. Ramlan (2001:79) mengatakan bahwa klausa adalah satuan
gramatik yang terdiri atas S P baik disertai O, PEL, dan KET atau pun tidak.
2.2 Pembagian
Kalimat Berdasarkan Jumlah Klausa
Berdasarkan jumlah
klausanya, kalimat dapat dibagi menjadi dua yaitu kalimat tunggal dan kaliamt
majemuk.
2.2.1 Kalimat Tunggal
Kalimat
tunggal adalah yang terdiri atas satu klausa. Hal itu berarti bahwa konstituen
untuk tiap unsur kalimat seperti subjek dan predikat hanyalah satu atau
merupakan satu kesatuan. Dalam kalimat tunggal tentu saja terdapat semua unsur
inti yang diperlukan. Di samping itu, tidak mustahil ada unsur yang bukan inti
seperti keterangan tempat, waktu, dan alat. Dengan demikian, kalimat tunggal tidak selalu dalam
wujud yang pendek, tetapi dapat pula dalam wujud yang panjang seperti terlihat
pada contoh
berikut.
a.
Buruh
mengambil upah.
b.
Buruh yang mengerjakan bangunan jembatan
ini mengambil upah di kantor administrasi.
A. Pembagian Kalimat Tunggal
Berdasarkan
jenis kata pada predikatnya, kalimat tunggal terdiri atas kalimat tunggal
berpredikat verbal, adjektival, nominal, numeral, dan frasa preposisional.
1. Kalimat Berpredikat Verbal
Seperti kita ketahui, bahwa ada bermacam-macam verba yang
tiap-tiap verba memengaruhi jenis kalimat yang menggunakannya. Kita mengenal
adanya verba taktransitif, semitransitif, dan transitif. Verba transitif dibagi
lagi menjadi ekatransitif (atau monotransitif) dan dwitransitif. Akan tetapi,
kalimat yang berpredikat verba hanya dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Kalimat
taktransitif
Kalimat yang tidak berobjek dan tidak berpelengkap hanya
memiliki dua unsur
Fungsi wajib, yakni subjek dan predikat. Pada umumnya,
urutan katanya adalah subjek
predikat. sebagai contoh:
a. Bu camat sedang
berbelanja.
b. Pak Halim belum datang.
c. Mereka mendarat (di
tanah yang tidak sehat).
d. Dia berjalan (dengan
tongkat).
e. Kami (biasanya) berenang
(hari Minggu pagi).
f. Padinya menguning.
Berdasarkan contoh tersebut tampak pula bahwa verba yang
berfungsi sebagai predikat dalam tipe kalimat itu ada yang berprefiks ber- ada
pula yang berprefiks meng-. Dari segi sematisnya, verba
tersebut ada yang bermakna inheren proses (seperti menguning) dan
banyak pula yang bermakna inheren perbuatan (seperti berbelanja,
datang, dan mendarat). Karena predikat dalam kalimat tidak berobjek
dan tidak berpelengkap itu adalah verba taktransitif, kalimat seperti itu
dinamakan kalimat taktransitif.
Ada pula verba
taktransitif yang diikuti oleh nomina,
tetapi nomina itu merupakan bagian dari paduan verba tersebut. Perhatikan
contoh yang berikut.
a.
Dia biasa berjalan kaki.
b. Pak Ahmad akan naik haji.
c. Guntur selalu naik sepeda ke sekolah.
Hubungan antara berjalan dengan kaki pada kalimat (a) merupakan hubungan yang terpadu; artinya tidak ada
macam berjalan lain kecuali berjalan kaki. Demikian pula hubungan antara naik dengan haji pada kalimat (b). Kedua kata telah membentuk suatu makna baru sehingga salah satu dari kata itu
tidak dapat digantikan oleh kata lain. Dengan adanya kerryataan itu, maka kaki dan haji masing-masing merupakan bagian
integral dari verba berjalan dan naik sehingga menjadi verba majemuk yang
termasuk
verba taktransitif.
Jika sekarang
kita bandingkan kalimat(b) dengan (c), maka secara sepintas kedua kalimat itu mempurryai
struktur yang sama karena kedua‑duanya mengandung verba naik. Akan tetapi, hubungan antara naik dan haji di pihak
yang satu dengan naik dan sepeda di pihak yang lain tidaklah sama.
Sepeda pada kalimat (c) tidak
membentuk satuan makna dengan verbanya. Oleh karena itu, dapat pula diganti dengan kata lain,
seperti opelet, delman, dan becak.
Selain jenis
verba taktransitif di atas, terdapat pula sekelompok verba taktransitif
berafiks ke-an yang dapat diikuti
nomina atau frasa nominal sebagai pelengkapnya. Perhatikan contoh berikut.
a. Perbuatannya ketahuan
ayahnya.
b.
Ibu kehilangan dompet di pasar.
c.
Kami kehabisan makanan.
Frasa nominal ayahnya, dompet, dan makanan pada contoh itu berfungsi
sebagai pelengkap; frasa-frasa nominal itu tidak dapat dikedepankan sebagai
subjek kalimat pasif. Jadi, bentuk *Ayahnya
ketahuan (oleh) perbuatannya, * Dompet
kehilangan (oleh) ibu di pasar, dan *Makanan
kehabisan (oleh) kami tidak berterima dalam bahasa Indonesia.
b.
Kalimat Ekatransitif
Kalimat yang
berobjek dan tidak berpelengkap mempunyai tiga unsur wajib,
yakni
subjek, predikat, dan objek. Predikat dalam kalimat ekatransitif adalah
verba yang
digolongkan dalam kelompok verba ekatransitif. Karena itu,
kalimat
seperti itu disebut pula kalimat ekatransitif. Dari segi makna, semua
verba ekatransitif
memiliki makna inheren perbuatan. Berikut ini adalah beberapa
contoh kalimat ekatransitif.
a. Pemerintah akan memasok semua
kebutuhan lebaran.
b. Presiden merestui pembentukan
panitia pemilihan umum.
Verba
predikat pada tiap-tiap kalimat tersebut adalah akan memasok, merestui. Disebelah
kiri tiap-tiap verba itu berdiri subjeknya dan di sebelah kanan objeknya. Dalam
kalimat aktif urutan kata dalam kalimat ekatransitif adalah subjek, predikat,
dan objek.
c. Kalimat
Dwitransitif
Telah kita
ketahui bahwa ada
verba transitif dalam bahasa Indonesia yang secara semantis mengungkapkan
hubungan tiga maujud. Dalam bentuk aktif, tiap-tiap maujud itu merupakan
subjek, objek, dan pelengkap. Verba itu dinamakan verba dwitransitif.
Perhatikan kalimat berikut!
a. Ida sedang mencari pekerjaan.
b. Ida sedang mencarikan pekerjaan.
c. Ida sedang mencarikan adiknya
pekerjaan.
Dari kalimat (a) kita ketahui bahwa yang
memerlukan pekerjaan adalah Ida. Dengan ditambahkannya sufiks -kan pada
verba dalam kalimat (b)
kita rasakan adanya perbedaan makna, yaitu yang
melakukan perbuatan “mencari” memang Ida,
tetapi pekerjaan itu bukan untuk dia sendiri meskipun
tidak disebut siapa orangnya. Pada kalimat
(c), orang itu secara eksplisit disebutkan , yakni adiknya. Pada kalimat (c), kita lihat ada dua nomina
yang terletak di belakang verba dalam predikat. kedua nomina itu berfungsi
sebagai objek dan pelengkap.
Selaras dengan
macam verba yang menjadi predikatnya, kalimat
yang mempunyai objek dan pelengkap dinamakan dwitransitif. Makna “untuk orang lain” pada kalimat dwitransitif seperti
yang di atas itu umumnya dinamakan makna peruntung
dan benefaktif. Berikut adalah
beberapa contoh lain kalimat dwitransitif
dengan makna peruntung.
a. Saya harus membelikan anak saya hadiah ulang tahun.
b. Kamu harus membuatkan Pak Ali laporan tahunan.
Kalimat
dwitransitif dapat pula mempunyai objek yang
maknanya bukan peruntung,
melainkan sasaran. Pada
umumnya, ada dua macam verba yang terlibat dengan kata dasar yang sama tetapi
dengan afiksasi yang berbeda
(1) a. Dia menugasi saya pekerjaan itu.
b.
Dia menugaskan pekerjaan itu kepada
saya.
(2) a. Ayah mengirimi kami uang tiap bulan.
b. Ayah mengirimkan uang kepada kami tiap
bulan
(3) a. Dosen itu memberi kamu kesempatan.
b.
Dosen itu memberikan kesempatan kepada kamu.
Dari ketiga
pasangan kalimat di atas, objeknya adalah nomina atau frasa nominal yang
langsung mengikuti verba: saya dan pekerjaan itu (1a), kami dan uang (2a), serta kamu dan kesempatan (3a). Nomina atau frasa nominal objek dengan atau
tanpa preposisi berfungsi sebagai pelengkap: pekerjaan itu dan kepada saya (1b), uang dan kepada kami (2b),
serta kesempatan dan kepada kamu (3b).
Berbeda dengan
kalimat dwitransitif yang bermakna benefaktif, kalimat dwitransitif yang
bermakna direktif mengharuskan
pemakaian verba yang berbeda, baik dalam bentuk aktif maupun pasifnya. Perhatikan
contoh kalimat
kalimat berikut yang
merupakan padanan dari kalimat aktif (1)
– (3) di atas.
(4)
a. Saya ditugasi pekerjaan itu oleh dia.
b. Pekerjaan itu
ditugaskan kepada saya oleh dia.
(5)
a. Kami dikirimi uang oleh ayah tiap bulan.
b.Uang
dikirimkan kepada kami oleh ayah tiap bulan.
(6)
a. Kamu
diberi kesempatan oleh dosen itu.
b. Kesempatan diberikan
kepada kamu oleh dosen itu.
Dari contoh (a)
dan (b) pada (7)-(9) di atas tampak bahwa pemilihan suatu bentuk verba tertentu menentukan
frasa nominal mana yang dapat berfungsi
sebagai subjek dalam kalimat pasif. Jika yang dijadikan predikat adalah verba ditugasi, misalnya, maka saya dan bukan pekerjaan
itu yang menjadi subjek. Sebaliknya, jika verbanya
adalah ditugaskan, maka subjeknya
hanya boleh pakerjaan itu.
Pembolak-balikan aturan ini akan menimbulkan kalimat yang salah: *Dia ditugakan pekerjaan itu, *Pekerjaan itu
ditugasi kepadanya.
d.
Kalimat Pasif
Pengertian
aktif dan pasif dalam kalimat menyangkut beberapa hal: (1) macam verba yang menjadi predikat, (2)
subjek dan objek, dan (3) bentuk verba yang dipakai. Perhatikan kalimat yang
berikut.
(1) Pak
Toha mengangkat seorang
asisten baru.
(2) Ibu
gubernur
akan membuka pameran itu.
(3) Pak
Saleh harus
memperbaiki dengan segera rumah tua
itu.
(4) Kamu
dan saya
harus menyelesaikan tugas ini.
(5) Saya
sudah mencuci mobil itu.
(6) Kamu
mencium pipi anak itu.
Semua contoh kalimat di atas menunjukkan
bahwa verba yang terdapat dalam tiap kalimat adalah verba transitif, baik yang
ekatransitif maupun yang dwitransitif. Karena kalimat itu transitif, maka
paling tidak ada tiga unsur wajib di dalamnya, yakni subjek, predikat, dan
objek. Verba transitif yang dipakai adalah dalam bentuk aktif, yakni verba yang
memakai prefiks meng-.
Penafsiran dalam
bahasa Indonesia dilakukan dengan dua cara: (1) menggunakan verba berprefiks
di- dan (2) menggunakan verba tanpa prefiks di-. Jika kita gunakan simbol S
untuk subjek, P untuk predikat, dan O untuk objek, maka kaidah umum untuk
pembentukan kalimat pasif dari
kalimat aktif dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Cara
Pertama.
(1) Pertukarkanlah
S dengan O.
(2) Gantilah
prefiks meng- dengan di- pada P.
(3) Tambahkan
kata oleh di muka unsur yang tadinya S.
Marilah kita
terapkan kaidah penafsiran cara pertama itu pada bentuk kalimat (1) di atas.
(7)
Pak Toha mengangkat seorang asisten baru.
a.
*Seorang
asisten baru mengangkat Pak Toha. (Kaidah
a.1)
b.
Seorang asisten baru diangkat Pak Toha. (Kaidah a.2)
c.
Seorang asisten baru diangkat oleh Pak
Toha. (Kaidah a.3)
Pemasifan dengan
cara pertama itu umumnya digunakan jika subjek kalimat aktif subjek kalimat
aktifberupa nomina atau frasa nominal seperti terlihat pada contoh (1-6) di
atas, jika subjek kaliniat aktif berupa
pronomina persona, padanan pasifnya umumnya dibentuk dengan cara kedua. Akan
tetapi, kalau subjek kalirnat aktif itu berupa gabungan pronomina dengan
pronomina atau frasa lain, maka padanan
pasifnyadibentuk dengan cara pertama itu. Karena itulah maka bentuk (8a) kita
terima, sedangkan bentuk (8b), yang dibentuk dengan cara kedua, kita tolak
sebagaibentuk pasif kalimat (4) di atas. Perlu dicatat bahwa kehadiran oleh pada (8a) berikut wajib.
(8) a.
Tugas itu harus diselesaikan oleh
kamu dan saya.
b. Tugas ini harus kamu dan saya selesaikan.
b. Cara
Kedua
Seperti
telah disinggutig di atas, padanan
pasif dari kalimat aktif transitif yang subjeknya berupa pronomina dibentuk
dengan cara kedua. Adapun kaidah
pembentukan
kalimat pasif cara kedua itu adalah sebagai berikut.
1)
Pindahkan O ke awal kalimat.
2)
Tanggalkan prefiks meng-
pada P.
3)
Pindahkan S ke tempat yang tepat sebelum
verba.
Marilah kita
terapkan kaidah pemasifan cara kedua itu pada bentuk kalimat (5) di atas.
(9)
Saya
sudah mencuci mobil itu.
a. *Mobil
itu saya sudah mencuci. (Kaidah b.1)
b. Mobil itu saya sudah cuci. (Kaidah
b.2)
c. Mobil itu sudah saya cuci (Kaidah
b.3)
Dengan cara yang
sama, kita dapat ptia rnemperoleh bentuk pasif (10) sebagai padanan kalirnat aktif (6) di atas.
(10)
Pipi anak itu kamu cium.
Jika subiek
kalimat aktif transitif berupa pronomina persona ketiga atau nama diri yang
relatif pendek, maka padanan pasifnya dapat dibentuk. dengan cara pertama atau
kedua seperti tampak pada contoh berikut.
(11) a. Mereka akan membersihkan ruangan ini.
b.i. Ruangan ini akan dibersihkan
(oleh) mereka
ii.
Ruangan ini akan mereka bersihkan.
(12) a. Dia
sudah membaca buku itu.
b.i.
Buku itu sudah dibaca olehnya/(oleh) dia.
ii.
Buku itu sudah dibacanya/dia baca.
(13) a. Ayah
belum mendengar berita duka itu.
b.i.
Berita duka itu belum didengar (oleh) Ayah.
ii.
Berita duka itu belum Ayah dengar.
Apabila subjek
kalimat aktif transitif itu panjang, maka padanan kalimat pasifnya dibentuk
dengan cara pertama. Jadi, bentuk seperti Berita
duka itu belum didengar oleh Susilowati Hamid tidak dapat diubah menjadi *Berita duka itu belum Susilowati Hamid
dengar.
Perlu dicatat
bahwa pembentukan kalimat pasif dengan cara kedua dari kalimat aktif transitif
yang subjeknya berupa pronomina persona ketiga atau nama diri pada umumnya
terbatas pada pemakaian sehari-hari. Pronomina aku, engkau, dan dia
(yang mengikuti predikat) pada kalimat pasif cenderung dipendekkan menjadi ku-, kau-, dan –nya seperti tampak pada contoh berikut.
(14) a.i.
Surat itu baru aku terima
kemarin.
ii.
Surat itu baru kuterima kemarin.
b.i. Buku ini perlu engkau baca.
ii. Buku ini perlu kaubaca.
c.i. Pena saya dipinjam oleh dia.
ii. Pena saya dipinjamnya.
iii. Pena saya dipinjam olehnya.
Perubahan
kalimat aktif transitif yang mengandung kata seperti ingin atau mau cenderung
menimbulkan pergeseran makna. Perhatikan contoh berikut.
(15) a. Andi ingin
mencium Tuti.
b.
Tuti ingin dicium Andi.
Pada kalunat
aktif (15a) jelas bahwa yang ingin melakukan perbuatan mencium adalah Andi, tetapi pada (15b) orang cenderung
menafsirkan bahwa yang menginginkan ciuman itu adalah Tuti dan bukan Andi.
Tafsiran makna kalimat pasif yang berbeda dengan makna padanan kalimat aktif
itu timbul karena kodrat kata ingin
yang cenderung dikaitkan dengan unsur di sebelah kiri yang mendahuluinyanya.
Hal ini tampak lebih nyata pada keganjilan pasangan kalimat Andi ingin mencuci mobilnya- *Mobilnya ingin
dicuci Andi.
Arti pasif dan
pula bergabung dengan unsur lain seperti unsur ketaksengajaan. Jika kalirnat
aktif diubah menjadi kalimat pasif dan dalam kalimat pasif itu terkandung pula
pengertian bahwa perbuatan yang dinyatatan oleh verba itu mengandung unsur yang
tak sengaja, maka bentuk prefiks yang dipakai untuk verba bukan lagi di-,
melainkan ter-. Perhatikan
perbedaan kalimat (a) dan (b) yang berikut ini.
(16)
a. Penumpang bus itu dilempar ke
luar.
b.
Penumpang bus itu terlempar ke luar.
(17) a. Dia dipukul
kakaknya.
b. Dia
terpukul kakaknya.
Kalimat (a)
menunjukkan bahwa seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat dan
kesengajaan. Sebaliknya, kalomat (b) mengacu ke suatu keadaan atau ke
ketaksengajaan si pelaku perbuatan. Pada (16b) mungkin saja penumpang tadi
terlempar oleh orang lain, atau mungkin juga oleh guncangan bus yang terlalu kuat.
Di samping makna
ketaksengajaan itu, verba pasif yang memakai ter- juga dapat menunjukkan kekodratan; artinya, kita tidak
memasalhkan siapa yang melakukan perbuatann tersebut sehingga seolah-olah sudah
menjadi kodratlah bahwa sesuatu harus demikian keadaannya. Sebagai contoh,
perhatikanlah kalimat yang berikut.
(18) Gunung merapi terletak di Pulau Jawa.
(19) Soal ini terlepas
dari rasa senang dan tidak senang.
Pada contoh itu
tidak ada unsur sengaja atau tidak sengaja, dan kita pun tidak, memasalhkan
siapa yang meletakkan gunung itu atau yang melepaskan soal ini.
Bentuk kalimat
pasif lain yang bermakna adversatif tampak pda contoh (20) dan (21). Di sini
oerlu diletakkan bahwa makna kalimat yang predikatnya memakai ke-an ini adalah pasif dengan tambahan
makna adversatif, yakni makna yang tidak menyenagkan. Perhatikan pasangan
kalimat berikut.
(20) a. Soal itu diketahui oleh otang tuanya.
b.
Soal itu ketahuan oleh orang tuanya.
(21) a. Partai kita dimasuki unsur kiri.
b.
Partai kita kemasukan unsur kiri.
2. Kalimat Berpredikat Adjektival
Predikat kalimat dalam bahasa Indonesia dapat pula berupa
adjektival atau frasa adjektival seperti terlihat pada contoh berikut.
a. Ayahnya sakit.
b. Pernyataan
orang itu benar.
c. Alasan para pengunjuk rasa
agak aneh.
Pada ketiga contoh tersebut, tiap-tiap subjek kalimatnya
adalah ayahnya, pernyataan orang itu, dan para
pengunjuk rasa, sedangkan predikatnya adalah sakit,
benar, dan agak aneh. Kalimat yang predikatnya adjektival
sering juga dinamakan kalimat statif. Kalimat statif
kadang-kadang memanfaatkan verba adalah untuk memisahkan
subjek dari predikatnya. Hal itu dilakukan apabila subjek, predikat, atau
kedua-duanya panjang. Perhatikan contoh berikut!
a. Pernyataan kedua gabungan koperasi itu adalah tidak
benar.
b. Gerakan badannya pada tarian yang pertama adalah anggun
dan
mempesona.
Predikat
dalam kalimat statif kadang-kadang diikuti oleh kata atau frasa lain.
Perhatikan contoh yang berikut.
a.
Ayah saya sakit perut.
b. Warna bajunya biru laut.
c. Orang itu memang tebal kepercayaannya.
d. Dia berani melawan gurunya.
e. Saya takut akan kekuasaan Tuhan.
Pada
contoh di atas, kita lihat bahwa sesudah predikat sakit, biru, tebal, berani, dan takut
terdapat kata atau frasa tambahan, yakni perut,
laut, kepercayaan, melawan guru, dan akan
kekuasaan Tuhan. Kata atau frasa yang berdiri sesudah predikat dalam
kalimat statif dinamakan pelengkap. Jadi, kata seperti laut dan kepercayaannya
di atas adalah pelengkap terhadap predikat masing-masing. Seperti yang dapat
dilihat dari contoh di atasa, pelengkap dapat berupa kata atau frasa, dan
kategorinya pun dapat berupa frasa nominal, verba, atau preposisional.
Jika
kalimat statif kita bandingkan dengan kalimat
ekuatif,
akan kita lihat bahwa keduanya hanya memiliki dua unsur fungsi wajib saja,
yakni subjek dan predikat sehingga kedua macam kalimat itu mempunyai kemiripan.
Akan tetapi, ada perbedaan yang mencolok di antara macam kalimat itu dalam
wujud ingkarnya.
Kalimat
ekuatif diingkarkan dengak kata pengingkar bukan,
sedangkan kalimat statif dengan pengingkar tidak.
Perhatikan contoh yang berikut.
(1)
a. Pak Irwan bukan guru saya.
b. Pak
Irwan tidak sakit.
Tidak mustahil
bahwa dalam kalimat statif dipakai pula kata ingkar bukan, tetapi pemakaian itu khusus untuk menunjukkan adanya kontras
dengan sesuatu yang lain yang dipikirkan atau dinyatakan oleh pembicara atau
penulis. Bandingkan kalimat-kalimatyang berikut.
(2)
a. Ahmad tidak sakit.
b. Ahmad
bukan sakit.
Kalimat (2a)
menyatakan suatu keadaan secara biasa. Pada. kalimat (2b) pembicara atau penulis menyimpan
tambahan yang tidak dinyatakan; misalnya, dia
malas.
3. Kalimat
Berpredikat Nominal
Dalam bahasa Indonesia ada macam
kalimat yang predikatnya terdiri atas nomina (termasuk pronomina) atau frasa
nominal. Dengan demikian, kedua nomina atau frasa nominal yang dijejerkan dapat
membentuk kalimat asalkan syarat untuk subjek dan predikatnya terpenuhi. Syarat
untuk kedua unsur itu penting karena jika tidak dipenuhi, maka jejeran nomina
tadi tidak akan membentuk kalimat. Contoh :
(1)
a. Buku cetakan Bandung itu ...
b. Buku itu cetakan Bandung.
Urutan kata
seperti terlihat pada nomor (1a) mernbentuk satu frasa dan bukan kalimat karena
cetakan Bandung itu merupakan pewatas dan bukan predikat. Sebaliknya, urutan
pada (1b) membentuk kalimat karena penanda batas frasa itu memisahkan kalimat
menjadi dua frasa nominal dengan cetakan Bandung sebagai predikat. Kalimat yang
predikatnya nominal sering pula dinamakan kalimat persamaan atau kalimat ekuatif. Kalimat persamaan oleh
sebagian ahli bahasa juga diartikan kalimat yang subjek dan predikatnya tergolong
kategori yang sama. Pada kalimat ekuatif nominal frasa nominal yang pertama itu
subjek, sedangkan yang kedua predikat. Akan tetapi, jika frasa nominal pertama
dibubuhi partikel -lah,
frasa nominal petama itu menjadi predikat, sedangkan frasa nominal kedua menjadi subjek.
Perhatikan contoh berikut.
(2) a. Dia guru saya.
b.
Dialah guru saya.
(3) a. Orang itu pencurinva.
b. Orang
ltulah pencurinya
Pada (2a) dan
(3a) subjek masing-masing adalah dia dan orang itu.. Pada (2b) dan (3b) justru
justru sebaliknya: dialah dan orang itulah tidak lagi berfungsi sebagai subjek,
tetapi sebagai predikat. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam struktur
bahasa Indonesia secara keseluruhan partikel –lah umumnya menjadi predikat.
Seperti halnya dengan kalimat statif, kalimat berpredikat nominal kadang-kadang
memanfaatkan adalah untuk memisahkan
subjek dari predikat. Adalah umumnya
dipakai jika subjek, predikat, atau kedua-duanya panjang. Orang memerlukan
semacam pemisah di antara keduanya. Perhatikan contoh berikut.
(4) a. Pemberhentian seorang karyawan adalah masalah
biasa.
b. Ini
adalah masalah keluarga mereka sendiri.
c.
Pernyataan Menteri Luar Negeri itu adalah permyataan untuk
konsumsi luar.
Jika kalimat dengan predikat nominal diselipi adalah,
maka verba itu berfungsi sebagai predikat, sedangkan nomina atau frasa nominal
yang mengikutinya menjadi pelengkap. Dalam pemakaian bahasa Indonesia
sehari-hari kata adalah dapat disulih dengan kata ialah atau merupakan.
Kendala pemakaian ialah adalah bahwa
kata itu tidak dapat mengawali kalimat. Bandingkan contoh yang di bawah ini
(5) a. Adalah masalah biasa pemberhentian seorang
karyawan itu.
b. *
lalah masalah biasa pemberhentian seorangkaryawan itu.
4. Kalimat
Berpredikat Numeral
Selain macam-macam kalimat yang predikatnya berupa frasa
verbal, adjektival, dan nominal yang telah dibicarakan , ada pula kalimat dalam
bahasa Indonesia yang predikatnya berupa frasa numeral, seperti yang tampak
contoh berikut.
1. a.
Anaknya banyak.
b. Uangnya hanya sedikit.
2.a.
Istrinya dua (orang).
b. Lebar sungai itu lebih dari dua ratus meter.
Pada contoh tersebut tampak bahwa predikat yang berupa
numeralia (kata bilangan) tidak tentu (banyak dan sedikit) tidak
dapat diikuti kata penggolong, sedangkan predikat yang berupa numeralia tentu
dapat diikuti penggolong, seperti orang pada contoh (2a) dan wajib diikuti
ukuran seperti meter contoh
(2b).
5. Kalimat Berpredikat Frasa Preposisional
Predikat kalimat dalam bahasa Indonesia dapat
pula berupa frasa preposisional. perhatikan contoh berikut!
1. a Ibu sedang ke pasar.
b Mereka ke rumah kemarin.
2. a Ayah di dalam kamar.
b Anak itu sedang di sekolah.
Perlu dicatat, bahwa tidak semua preposisi dapat menjadi
predikat kalimat. Kalimat-kalimat berikut terasa janggal bila tidak disertai
verba.
a. * Ia dengan ibunya.
b.
* Rumah makan sepanjang malam.
c.
* Pembicaraan mengenai reformasi.
d. * Buku itu kepada saya.
B. Perluasan Kalimat Tunggal
Pada kenyataanya, suatu kalimat sering bukan hanya terdiri atas unsur
wajib saja, tetapi juga atas unsur takwajib. Dari segi struktur, unsur takwajib
itu memperluas kalimat dan dari segi makna unsur takwajib itu membuat informasi
yang terkandung dalam kalimat menjadi lebih lengkap. Perluasan kalimat tunggal
itu dapat dilakukan penambahan (1) unsur keterangan, (2) unsur vokatif, dan (3)
konstruksi aposisi.
1. Keterangan
Keterangan diperlakukan sebagai unsur tak wajib dalam arti bahwa tanpa
keterangan pun kalimat telah mempunyai makna mandiri.
Contoh:
a. Mereka membunuh binatang buas itu.
b. Mereka membunuh binatang buas itu di pinggir
hutan.
Meskipun kalimat (a) hanya terdiri unsur wajib saja, secara makna
kalimat itu telah memberikan makna yang utuh, sedangkan pada kalimat (b)
terdapat keterangan tambahan tempat peristiwa terjadinya pembunuhan.
Keterangan dibedakan menjadi sembilan macam, yakni keterangan (1) waktu,
(2) tempat, (3) tujuan, (4) cara, (6) alat, (7) pembandingan/kemiripan, (8)
sebab, dan (9) kesalingan.
1.1 Keterangan Waktu
Fungsi keterangan ini diisi oleh berbagai bentuk (a) kata tunggal, (b)
frasa nominal, dan (c) frasa preposional. Pada umumnya, keterangan waktu terletak
di belakang kalimat, tetapi dapat pula di awal atau pun di tenganh kalimat. Keterangan
waktu yang berbentuk kata tunggal mencakupi kata pernah, sering,
kadang-kadang, biasanya, kemarin, sekarang, besok, lusa, tadi, dan nanti
.keterangan waktu yang berbentuk frasa nominal dapat berupa pengulangan kata
seperti pagi-pagi, malam-malam, siang-siang, dan sore-sore atau
macam gabungan yang lain seperti sebentar lagi, kemarin dulu, dan
tidak lama kemudian.
Contoh:
a. Pemerintah mengumumkan desentralisasi itu kemarin.
b. Saatnya telah tiba untuk lepas landas sekarang.
c. Tadi dia menanyakan lagi soal itu.
d. Dia biasanya
datang kekantor pagi-pagi.
e. Ada apa kamu datang malam-malam begini?
f. Sebentar lagi kami sudah akan selesai dengan konsep itu.
Keterangan waktu yang berbentuk frasa preposisional diawali dengan
preposisi dan diikuti nomina tertentu. Preposisi yang dipakai antara lain, di,
dari, sampai, pada, sesudah, sebelum, ketika, sejak, buat, dan untuk. Frasa
nominal yang mengikutinya bukanlahsembarang frasa nominal, melainkan frasa
nominal yang memiliki ciri waktu.
Contoh:
a. Di saat itu kita belum memiliki teknologi canggih.
b. Mereka menunggu Anda sampai pukul lima sore.
c. Haji Dahlan meninggal sebelum subuh.
1.2 Keterangan Tempat
Keterangan tempat adalah keterangan yang menunjukkan tempat terjadinya
peristiwa atau keadaan. Preposisi yang dipakai antara lain, di, ke, dari,
sampai, dan pada. Sesudah preposisi itu terdapat kata yang mempunyai
ciri tempat: di sini, di sana, di situ, dari sana, dari sini, ke mana,
dan sebagainya. Ada juga preposisi yang dapat bergabung dengan nomina lain untuk membentuk keterangan
tempat asalkan nomina itu memiliki ciri semantis mengandung makna tempat yakni,
jembatan, rumah, jakarta, nomor.
Contoh:
a. Kita meletakan batu pertama ini di sana
b. Dari sini kita harus melancarkan serangan kita
c. * Keluarganya akan pindah ke tahun
Frasa preposisional yang wujud mirip dapat menyatakan keterangan yang
berbeda preposisi sampai, misalnya, dapat dipakai dengan kata yang berciri
semantis tempat maupun waktu.
Contoh:
a. Dia mengerjakan soal itu sampai pukul
lima . (ciri semantis menyatakan waktu)
b. Dia mengerjakan soal itu sampai nomor
lima. (ciri tempat)
Ada sekelompok nomina seperti di atas,
bawah, dalam, dan belakang dapat membentuk keterangan tempat.
Contoh:
a. Soal itu sudah sampai ke atas.
b. Dokumen itu ada di bawah sekali.
c. Pencurian itu pasti dilakukan dari
dalam.
d. Waktu itu memang mereka berjalan di
belakang.
Di samping kedudukan sebagai nomina biasa, nomina seperti itu sering
pula dipakai dengan nomina atau frasa nomina lain. Dalam konteks tertentu
pemakaiannya manasuka.
Contoh:
a. Paspor itu ada di meja.
b. Paspor itu ada di atas meja.
c. Uangnya disimpan di lemari.
d. Uangnya disimpan di dalam lemari.
e. Uangnya ada di atas meja
f. Uangnya ada di bawah meja
Kalimat (a)dan (b) memiliki tafsiran yang sama, meskipun pada kalimat
(b) telah ditambahkankata atas. Demikian pula (c) dan (d) telah
ditambahkan kata dalam. Akan tetapi jika diperhatikan kalimat (e) akan
tampak ada tidaknya kata atas akan mempengaruhi kalimat. Adanya kesamaan
dan perbedaan makna dan tafsiran seperti digambarkan di atas ditentukan oleh
kata yang berdiri di belakang dan di depan kata. Berbeda halnya dengan kata di
rumah dan di dalam rumah tidak mengikuti kaidah seperti kalimat (d).
Contoh:
a. Ayah ada di rumah.
b. Ayah ada di dalam rumah.
Tampaknya makna “ruang” belum cukup dan harus diperinci lagi menjadi
ruang yang relatif besar, kecil, dan seterusnya.
1.3 Keterangan Tujuan
Keterangan tujuan adalah keterangan yang menyatakan arah, jurusan, atau
maksud perbuatan atau kejadian.Wujudnya selalu dalam bentuk frasa preposisional
dan preposisi yang digunakan adalah demi, guna, untuk, dan buat.
Contoh:
a. Dia bersedia berkorban demi kepentingan
negara.
b. Marilah kita mengheningkan cipta bagi
pahlawan yang telah gugur.
c. Guna kerjasama yang baik kita memerlukan pengendalian diri.
d. Satu asas diperlukan untuk kesatuan dan persatuan
bangsa.
e. Syair ini kutulis buat seorang teman
yang pernah berarti dalam hidupku.
.
Kata atau frasa yang dapat berdiri di belakang preposisi juga dapat
berupa verba atau frasa verbal.
Contoh:
a. Dia memang mempunyai tekad besar untuk
merantau.
b. Guna menurunkan inflasi kita perlu mengencankan ikat pinggang.
Pada umumnya preposisi yang dapat digunakan dengan verba hanyalah untuk
dan guna. Dari segi maknanya, keenam preposisi yang membentuk keterangan tujuan
itu mempunyai makna yang sama atau mirip.
1.4 Keterangan Cara
Keterangan cara adalah yang menentukan suatu jalannya peristiwa
berlangsung. Keterangan cara dapat berupa kata tunggal atau frasa
preposisional. Kata tunggal menyatakan cara (sebagian menyatakan kekerapan)
misalnya, seenaknya, semaumu, secepatnya, sepenuhnya, dan sebaliknya. Letak keterangan
itu umumnya sesudah predikat atau objek (jika ada), tetapi ada juga yang muncul
di awal atau akhir kalimat.
Contoh:
a. Dia berbicara seenaknya dengan
atasannya.
b. Kamu boleh mengambil kue semaumu.
c. Masalah itu harus diselesaikan
secepatnya.
d. Kami percayakan soal ini sepenuhnya
kepada Anda.
e. Dia berpikir sebaliknya.
Frasa preposisional yang menyatakan cara biasanya terdiri atas preposisi
dengan, secara, atau tanpa, dan ajektiva atau nomina sebagai komplemen.
Preposisi tanpa biasanya hanya bisa diikuti nomina sebagai komplemennya.
Jika komplemennya preposisi itu berupa bentuk ulang ajektiva, maka preposisi
yang mendahuluinya dapat dilesapkan.
Contoh:
1. a Kereta itu pun meninggalkan stasiun dengan
pelan-pela.
b Kereta itu pun meninggalkan stasiun pelan-pelan.
2. a Beri tahu kepada adikmu secara
baik-baik.
b Beri tahu kepada adikmu baik-baik.
3. a Dia menerangkan soal itu dengan
jelas/jelas-jelas.
b *Dia menerangkan soal itu jelas.
Jika komplemen preposisi adalah nomina, preposisi dengan, secara atau
tanpa dapat dipakai meskipun tidak selamanya dapat dipertukarkan.Contoh (a-d) dapat
diterima, tetapi tidakdengancontoh (e) di tolak.
Contoh:
a. Marilah kita selesaikan sengketa ini secara
jantan.
b. Tanpa kemauan besar Anda tidak akan berhasil.
c. Dengan perhatian penuh kamu akan mencapai cita-citamu.
d. Kita lebih baik menyelesaikan
masalah ini secara kekeluargaan.
e. * Dia bekerja sama kemauan besar.
Keterangan cara juga dapat dibentuk dengan menambahka se- dan -nya
pada bentuk ulang kata tertentu.
Contoh:
a. Kami sudah mencoba sekeras-kerasnya.
b. Carilah contoh sebanyak-banyaknya.
c. Kita harus menyelesaikan masalah ini sedapat-dapatnya.
Bentuk makna dengan se-nya itu menyatakan
makna elatif.
Contoh:
a. Kami sudah mencoba sekeras mungkin.
b. Cari contoh sebanyak mungkin.
c. Sedapat mungkin kita harus menyelesaikan masalah ini.
Bentuk keterangan cara yang ketiga berwujud pengulangan kata tertentu
dan kemudian diikuti afiks -an. Kadang-kadang dapat pula didahului preposisi.
Contoh:
a. Waktu itu kami mempertahankannya mati-matian.
b. Dia terang-terangan menolak ajakan
damai kita.
c. Sekarang banyak orang main gila-gilaan.
d. Dengan terang-terangan dia melakukan
hal itu.
Bentuk terakhir keterangan cara berupa partikel se- yang diikuti kata
tertentu. Sering kata demi juga di pakai sebagai kombinasinya.
Contoh:
a. Silakan maju setapak.
b. Mereka mundur selangkah.
c. Selangkah demi selangkah kami pun bergerak terus.
d. Kemajuan tetap ada meskipun sedikit-demi
sedikit.
1.5 Keterangan Penyerta
Keterangan penyerta adalah keterangan yang menyatakan ada tidaknya orang
yang menyertai orang lain dalam melakukan suatu perbuatan. Kecuali kata sendiri
yang dapat berdiri tanpa iringan kata lain, semua keterangan penyerta
dibentuk dengan menggabungkan preposisi dengan, tanpa, atau bersama dengan
kata tertentu. Kata yang berdiri di belakang preposisi harus merupakan maujud yang
bernyawa .
Contoh:
a. Ibu ke pasar dengan saya.
b. Dia merumuskan konsep itu dengan para
pembantunya.
c. Pak Badri berangkat ke Mekah tanpa
istrinya.
d. Pasukan itu menyerbu kota bersama rakyat.
1.6 Keterangan Alat
Keterangan alat adalah keterangan yang dipakai untuk menyatakan ada
tidaknya alat yang dipakai untuk melakukan suatu perbuatan. Keterangan alat
selalu berwujud frasa preposisional dengan memakai preposisi dengan atau tanpa.
Contoh:
a. Kami biasanya pergi kekantor dengan bus.
b. Janganlah kita menilai mereka dengan
ukuran berat.
c. Kitaakan gagal tanpa bantuan mereka.
Keterangan alat didahului oleh preposisi dengan, sedangkan
preposisi itu juga dipakai untuk keterangan penyerta maupun keterangan cara.,
maka tidak mustahil terdapat bentuk yang paralel seperti contoh berikut.
a. Saya bekerja dengan orang besar.
b. Saya bekerja dengan kemauan besar.
c. Saya bekerja dengan kapak besar
Wujud ketiga keterangan di atas adalah sama. Akan tetapi, jika kita
perhatikan besar macam nomina yang berdiri di belakang preposisi, akan tampak
bahwa pada kalimat (a) orang adalah wujud bernyawa sehingga keterangan dengan
orang besar menyatakan penyerta. Sebaliknya, dengan kemauan besar
(b) dan kapak besar (c) tidak mungkin keterangan penyerta baik nomina kemauan
maupun kapak bukanlah benda yang
bernyawa.
1.7 Keterangan Pembandingan
Keterangan pembandingan adalah keterangan yang menyatakan kesatuan atau
kemiripan antara suatu keadaan, kejadian, atau perbuatan yang lain. Keterangan
berbentuk preposisi seperti laksana, seperti, atau sebagai.
Contoh:
a. Tekadnya untuk merantau teguh laksana
gunung karang.
b. Apakah selamanya kita akan hidup sebagai
objek sejarah.
c. Berpikirlah seperti orang dewasa.
1.8 Keterangan Sebab
Keterangan sebab adalah keterangan yang menyatakan sebab atau alasan
terjadinya suatu keadaan, kejadian, atau perbuatan. Wujud keterangan selalu
dengan preposisi karena, sebab, atau akibat.
Contoh:
a. Banyak pemimpin dunia jatuh karena
wanita.
b. Sebab kelakuan anaknya, keluarga itu dijauhi para tetangganya.
c. Gaji terasa kurangterus akibat inflasi.
d. Mereka terjerumus karena masalah ini.
1.9 Keterangan Kesalingan
Keterangan kesalingan adalah keterangan yang menyatakan bahwa satu
persatu perbuatan dilakukan secara berbalasan. Wujud keterangan kesalingan,
yakni satu sama lain atau saling pada umumnya diletakkan di sebelah kiri
verba atau di bagian akhir kalimat.
Contoh:
a. Kedua delegasi itu akan merundingkan
pemulihan hubungan diplomatik satu sama lain.
b. Ketua dan sekretaris organisasi itu saling
membenci satu sama lain.
2. Nomina Vokatif
Nomina vokatif adalah konstituen tambahan dalam ujaran atau frasa
nominal yang menyatakan orang yang disapa.Unsur vokatif itu bersifat manasuka,
dan letaknya dapat di awal, tengah, dan di akhir kalimat.
Contoh:
a. Mir, tolong belikan rokok.
b. Dah kamu, Deni, jangan bermain saja.
c. Apa laporan itu sudah dibaca, Pak?
Nomina vokatif tidak merupakan bagian integral suatu kalimat dan hal itu
tampak dalam intonasi dengan bagian kalimat lain dengan membentuksatuan tona
sendiri atau menjadi ekor satuan tona. Ciri paling lazim unsur vokatif adalah
intonasi naik.Vokatif awal juga sering mempunyai intonasi turun-naik. Fungsi
utama nomina vokatif adalah minta perhatian orang yang disapa, terutama jika
ada pendengar lain. Nomina vokatif dapat berupa
(1) nama orang dengan atau tanpa gelar seperti
Amir, Dokter Putu, Kopral Jono ;
(2) istilah kekerabatan seperti Ayah, Ibu,
Saudara;
(3) ungkapan kasih sayang seperti sayang, cinta;
(4) ungkapan penanda profesi dengan atau tanpa
sapaan seperti Tuan Presiden, Pak Hakim, Bu Guru .
3. Konstruksi Aposisi
Dua unsur kalimat disebut beraposisi jika kedua unsur itu sederajat dan
mempunyai acuan yang sama atau, paling tidak salah satu mencakupi unsur yang
lain. Perhatikan conto berikut.
Ir. Soekarna, presiden Indonesia pertama,
adalah tokoh pendiri gerakan nonblok.
Ir. Soekarno dan presiden Indonesia pertama masing-masing merupakan
frasa nominal dan keduanya mengacu kepada orang yang sama. Dengan kata lain Ir.
Soekarno dengan presiden Indonesia pertama beraposisi. Bandikan
dengan contoh berikut di bawah ini.
a. Ir. Soekarno adalah tokoh pendiri gerakan
nonblok.
b. Presiden Indonesia pertama adalah tokoh
pendiri gerakan nonblok.
Jenis aposisi seperti terlihat pada contoh (b) itu lazim disebut aposisi
penuh. Berikut beberapa contoh lain.
a. Alan, juara bulu tangkis Olimpiade
Barcelona, menerima hadia uang sebesar satu miliun rupiah.
b. Murid-murid itu menyanyikan Indonesia Raya,
lagu kebangsaan kita.
c. Ketua Panitia Pemilu, Menteri Dalam Negeri,
akan mengumumkan nama-nama calon anggota MPR dalam waktu dekat.
Pada kalimat
d. Alasannya, bahwa anaknya sakit keras, sukar
diterima.
Bentuk alasannya dan bahwa anaknya sakit keras membentu aposisi, tetapi
hanya konstituen alasannya yang dapat digunakan untuk menggantikan konstruksi aposisi
itu. Berikut ini adala contoh aposisi sebagian.
a. Dr. Pepen, waktu itu dokter Puskesmas,
mengoprasi saya.
b. Dia membelikan anaknya sebuah boneka,
hadiah ulang tahunnya.
c. Masalah penerimaan pegawai baru, salah
satuacara rapat hari ini, perlu didahulukan.
Pada tiga contoh di atas hanya konstituen pertama (Dr. Pepen,sebuh
boneka, dan masalah penerimaan pegawai baru) yang dapat digunakan
untuk menggantikan konstruksi aposisi yang berkaitan dengan makna yang relatif
sama. Pada contoh-contoh aposisi di atas, tampak bahwa konstituen pertama dan
kedua dipisahkan dengan koma untuk mengisyaratkan bahwa konstituen yang kedua
tidak mewatasi makna konstituen yang mendahuluinya. Dalam bahasa lisan,
konstituen yang kedua itu akan diucapkan dengan kelompok tona tersendiri.
Konstituen pada contoh di atas berfungsi hanya sebagai penjelasan atau
keterangan tambahan terhadap unsur pertama. Atas dasar itu, konstruksi aposisi
pada contoh disebut juga aposisi takmewatasi atau aposisi takrestriktif.
Aposisi takmewatasi biasanya terbatas pada frasa nominal. Makna unsur
kedua dapat:
1. Sama dengan yang pertama dengan makna yang
(a) menyatakan jabatan, julukan, atau
pangkat,
(b) mengidentifikasi makna (acuan)
konstituen pertama,
(c) merumuskan kembali makna konstituen
pertama;
2. berfungsi sebagai atribut terhadap kntituen
pertama;
3. menyatakan bagian unsur pertama yang berupa
(a) pemberian contoh
(b) pengkhususan
Berdasarkan uraian di atas dapat
dirangkumkan jenis aposisi sebagai berikut.


sebagian
Aposisi
|


Fungsi
unsurkedua jabatan
terhadap yang
pertama atribut
identifikasi
perumusan
ulang
|

|
2.2.2 Kalimat Majemuk
Menurut Bambang dan Negoro (1975: 52) kalimat majemuk adalah kalimat yang terbentuk atas dua pola
kalimat atau lebih. Artinya, kalimat
itu memiliki dua subjek dan dua predikat.
Contoh: Andi
dan Bambang sangat malu ketika mereka
ketahuan membolos.
S P K
(SPPel)
Selanjutnya Gorys Keraf (1984:
167-168) menyatakan kalimat majemuk adalah penggabungan dari dua kalimat
tunggal atau lebih sehingga kalimat yang baru ini mengandung dua pola kalimat
atau lebih.
Contoh:
1. Ayah menulis surat, ibu berdiri
disampingnya.
2. Ayah menulis surat, sambil ibu
berdiri disampingnya.
Ambari (1983: 156-157) menyatakan kalimat majemuk adalah
suatu bentuk kalimat luas, hasil penggabungan atau perluasan kalimat tunggal
sehingga membentuk satu atau lebih pola kalimat baru disamping pola yang ada.
Contoh:
1. Jakarta terendam banjir.
2. Hujan
turun sangat deras.
3. Jakarta terendam banjir karena hujan turun sangat
deras.
Alwi (2003:314)
menyatakan bahwa kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua kalimat
atau lebih. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua kalimat tunggal/dua klausa
atau lebih yang membentuk pola kalimat baru.
Unsur-unsur
penyusun kalimat majemuk, yaitu kalimat tunggal/klausa, memiliki hubungan
secara semantis. Berdasarkan hubungan klausa pembentuknya, kalimat majemuk
dapat dibedakan menjadi dua yaitu kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk
bertingkat.
A. Kalimat Majemuk Setara
A.1 Pengertian Kalimat Majemuk Setara
Kalimat majemuk
setara menunjukkan hubungan koordinasi antarklausa. Hubungan koordinasi
menggabungkan dua klausa atau lebih yang masing-masing memiliki kedudukan yang
setara dalam struktur konstituen kalimat. Hubungan antarklausanya tidak
menyangkut satuan yang membentuk hierarki karena klausa yang satu bukanlah
konstituen dari klausa yang lain. Secara diagramatik hubungan ini dapat dilihat
dalam bagan berikut.
![]() |
Untuk memperjelas bagan di atas, perhatikan contoh
kalimat berikut.
1.
Pasangan
calon bupati dan wakil bupati itu mendatangi lokasi gempa.
2.
Mereka
memberi sembako untuk para korban.
3.
Pasangan
calon bupati dan wakil bupati itu mendatangi lokasi gempa kemudian mereka
memberi sembako untuk para korban.
Klausa 1 dan 2 digabungkan dengan koordinator kemudian sehingga terbentuklah kalimat
majemuk setara (3). Dalam kalimat majemuk setara, klausa-klausa itu merupakan
klausa utama. Sesuai dengan bagan di atas, pembentukan kalimat (3) dapat
dijelaskan dalam bagan sebagai berikut.
![]() |
|||||||||
|
|
|
|||||||
A.2 Ciri-Ciri Kalimat Majemuk Setara
Kalimat majemuk setara memiliki ciri sintaksis dan
semantik.
A. 2.1 Ciri-Ciri Sintaksis
a. menggabungkan dua klausa atau lebih,
b. posisi klausa yang diawali koordinator dan, atau, dan
tetapi tidak dapat diubah.
Apabila
diubah, akan memunculkan kalimat majemuk setara yang tidak
berterima.
Contoh:
(1) Saudara akan meminjam uang dari bank atau
menjual mobil Saudara?
(2) * Atau
menjual mobil untuk memperoleh uang tunai, Saudara akan
meminjam uang dari bank?
c. acuan kataforis (pronomina yang mendahului
nomina yang diacunya) tidak
diperoleh
dalam kalimat majemuk setara. Perhatikan contoh kalimat berikut.
Dia suka lagu dangdut, tetapi Satrio malu membeli
kaset itu.
Dalam kalimat di
atas, pronomina dia tidak mengacu
pada Satrio. Walaupu kalimat tersebut
berterima, hubungan antara pronomina dia
dan nama diri Satrio bukan hubungan
kataforis.
d.
sebuah koordinator dapat didahului oleh koordinator lain untuk mempertegas atau
memperjelas hubungan klausa yang digabungkan. Perhatikan contoh berikut.
Rapat
mempertimbangkan usul ketua komite dan kemudian menerimanya
dengan
suara bulat.
A. 2.1 Ciri-Ciri Semantis
Klausa-klausa yang dihubungkan oleh koordinator tidak menunjukkan
perbedaan tingkat pesan. Perhatikan contoh berikut.
Pemuda itu bekerja keras dan berhasil.
Dalam kalimat di atas, informasi pada klausa pertama
(pemuda itu bekerja keras) sama
pentingnya dengan informasi pada klausa kedua ((pemuda itu) berhasil).
A. 3 Hubungan
Semantik Antarklausa dalam Kalimat Majemuk Setara
Jika dilihat dari segi arti koordinatornya, hubungan semantis
antarklausa dalam kalimat majemuk setara ada tiga macam: (1) hubungan
penjumlahan, (2) hubungan perlawanan, dan (3) hubungan pemilihan.
A.3.1 Hubungan Penjumlahan
Yang dimaksud dengan hubungan penjumlahan adalah hubungan yang
menyatakan penjumlahan atau gabungan kegiatan, keadaan, peristiwa, atau proses.
Hubungan itu ditandai oleh koordinator dan,
serta, baik …maupun. Terkadang koordinator bersifat manasuka, yakni boleh
dipakai boleh juga tidak. Jika kita perhatikan konteksnya, hubungan penjumlahan
dapat menyatakan sebab akibat, urutan waktu, pertentangan, atau perluasan.
1. Penjumlahan yang
Menyatakan Penjumlahan sebab-Akibat.
Dalam hubungan seperti ini, klausa kedua merupakan akibat dari klausa
pertama. Perhatikan contoh berikut.
1.
Sudah sebulan kami mengarungi laut dan kami amat merindukan daratan yang
sejuk serta kehidupan yang normal.
2.
Gempa bumi mengguncang Padang Pariaman dan ratusan rumah pun berantakan.
2. Penjumlahan yang
Menyatakan Urutan Waktu
Klausa kedua merupakan urutan dari peristiwa yang terjadi pada klausa
pertama. Koordinator yang dipakai adalah dan, kemudian, dan lalu.
Perhatikan contoh berikut.
1.
Ibu hanya mengangguk-angguk dan air matanya terus mengalir.
2.
Kepala negara menyampaikan pidato pembukaan, kemudian menggunting pita sebagai tanda
diluncurkannya proyek raksasa tersebut.
3. Penjumlahan yang
Menyatakan Pertentangan
Klausa kedua menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
dinyatakan dalam klausa pertama. Koordinator yang dipakai adalah sedangkan dan padahal. Perhatikan contoh berikut.
1.
Para tamu sudah mulai berdatangan, sedangkan kami belum siap.
2.
Mereka sudah mengambil keputusan, padahal data-data yang lengkap belum diperoleh.
4. Penjumlahan yang
Menyatakan Perluasan
Klausa kedua memberikan informasi atau penjelasan tambahan untuk
melengkapi pernyataan pada klausa pertama. Koordinator yang dipakai adalah dan, serta, baik …maupun…. Perhatikan
contoh berikut.
1.
Sampai saat ini saya kagum dengan kepandaiannya dan kekaguman saya bertambah dengan
sifatnya yang rendah hati.
2.
Rahmat sangat rajin menulis baik waktu dia menjadi mahasiswa maupun setelah menjadi guru.
A.3.2 Hubungan Perlawanan
Hubungan perlawanan adalah hubungan yang menyatakan bahwa apa yang
dinyatakan dalam klausa pertama berlawanan atau tidak sama dengan yang
dinyatakan pada klausa kedua. Hubungan itu ditandai dengan koordinator tetapi, melainkan, dan namun. Hubungan perlawanan dapat
dibedakan atas hubungan yang menyatakan penguatan, implikasi, dan perluasan.
1. Hubungan Perlawanan yang
Menyatakan Penguatan
Klausa kedua memuat informasi yang menguatkan dan menandaskan informasi
yang dinyatakan dalam klausa pertama. Dalam klausa yang pertama biasanya
terdapat koordinator tidak/bukan saja,
tidak/bukan hanya, tidak/bukan sekadar dan pada klausa
kedua terdapat tetapi/melainkan juga.
Perhatikan contoh berikut.
1.
Masalah kemiskinan tidak
hanya masalah nasional, tetapi juga
masalah kemanusiaan.
2.
Pendidikan bukan
hanya tanggung jawab guru, melainkan
juga orang tua dan masyarakat.
2. Perlawanan yang
Menyatakan Implikasi
Klausa kedua merupakan perlawanan terhadap implikasi klausa pertama.
Koordinator yang dipakai adalah tetapi.
Perhatikan contoh berikut.
1.
Persija sudah bermain cantik, tetapi belum juga membuahkan gol.
2.
Adikku belum sekolah, tetapi sudah bisa membaca.
Dalam kalimat (1) implikasi klausa kalimat pertama (Persija sudah
bermain cantik) ialah bahwa tim yang sudah bermain cantik/bagus biasanya
membuahkan gol, sedangkan klausa kedua menyatakan perlawanan dari implikasi
tersebut. Demikian pula dengan kalimat (2) implikasi klausa pertama ialah orang
yang belum bersekolah belum dapat
membaca, tetapi klausa kedua menyatakan sebaliknya.
3. Perlawanan yang
Menyatakan Perluasan
Berlainan dengan hubungan yang menyatakan perluasan pada kalimat majemuk
setara yang memakai dan, hubungan
perluasan yang memakai tetapi
menyatakan bahwa informasi yang terkandung pada klausa kedua merupakan
informasi tambahan untuk melengkapi apa yang dinyatakan oleh klausa pertama,
terkadang malah melemahkannya. Perhatikan contoh-contoh kalimat berikut.
1.
Adat dipertahankan agar tidak berubah, tetapi unsur-unsur dari luar yang
dianggap baik perlu dimasukkan.
2.
Bung Karno dan Bung Hatta sering berselisih pendapat, tetapi keduanya tetap bersatu dalam
mencapai kemerdekaan Indonesia.
A.3.3 Hubungan Pemilihan
Hubungan pemilihan adalah hubungan yang menyatakan pilihan di antara dua
kemungkinan atau lebih yang dinyatakan oleh klausa-klausa yang dihubungkan.
Koordinator yang dipakai untuk menyatakan hubungan pemilihan adalah atau. Perhatikan contoh-contoh kalimat
berikut.
1.
Saya tidak tahu apakah dia akan menjual mobilnya atau akan meminjam uang dari bank.
2.
Rani bingung memilih bekerja di Bekasi atau menjadi TKW.
3.
Dia harus mengatakan yang benar sesuai dengan
kenyataan atau berbohong untuk
menyenangkan hati kedua orang tuanya.
4.
Dalam peperangan hanya ada dua kemungkinan: membunuh
musuh atau dibunuh musuh.
Kalimat (3) dan (4) menyatakan hubungan pemilihan pertentangaan.
B. Kalimat Majemuk Bertingkat
B.1 Pengertian Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk
bertingkat menyusun klausa-klausanya secara subordinasi. Dalam hubungan
subordinasi, klausa-klausa memiliki hubungan yang tidak setara, bersifat
hierarki, terdapat klausa yang berfungsi sebagai konstituen klausa lainnya. Hubungan
antarklausa dalam kalimat majemuk bertingkat dapat digambarkan dalam bagan
berikut.
![]() |
Dalam bagan di atas dapat dilihat bahwa klausa 2 berkedudukan sebagai
konstituen klausa 1. Oleh karena itu, klausa 1 disebut klausa utama, sedangkan
klausa 2 disebut klausa subordinatif.
Perhatikan contoh berikut.
1. Anak gadisnya
menolak menikah.
2. Ia memutuskan
untuk S-2 terlebih dahulu.
3. Anak gadisnya
menolah menikah karena ia memutuskan untuk S-2 terlebih dahulu.
Klausa (1) dan (2) digabungkan dengan konjungtor karena sehingga terbentuklah kalimat majemuk bertingkat (3). Sesuai
dengan bagan di atas, pembentukan kalimat mejemuk berttingkat dapat dijelaskan
sebagai berikut.
![]() |
B.2 Ciri-Ciri Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk bertingkat memiliki ciri-ciri sintaksis dan semantik.
B.2.1 Ciri-Ciri Sintaksis
a.
Menghubungkan dua klausa atau lebih yang salah satunya
merupakan bagian dari klausa yang lainnya,
b.
Posisi klausa yang diawali subordinator dapat berubah.
Perhatikan contoh berikut.
(1)
Para pejuang pantang menyerah walaupun nyawa taruhannya.
(2)
Walaupun nyawa
taruhannya, para pejuang pantang menyerah.
c.
Hubungan subordinatof memungkinkan adanya acuan
kataforis. Dalam kalimat berikut ini pronomina dia dapat mengacu pada nomina
nama diri Satrio walaupun tidak harus demikian.
Walaupu dia suka lagu dangdut, Satrio malu membeli kaset itu.
B.2.2 Ciri-Ciri Semantik
Dalam hubungan subordinasi, klausa yang mengikuti subordinator memuat
informasi atau pernyataan yang dianggap sekunder oleh pemakai bahasa, sedangkan
klausa lain memuat pesan utama kalimat tersebut. Perhatikan contoh berikut.
(1) Pemuda itu berhasil karena ia bekerja keras.
(2) Polisi muda itu bunuh diri setelah cintanya
ditolak.
Dalam kalimat (1) dan (2) pesan
atau informasi klausa pertama lebih diutamakan daripada klausa kedua. Dengan
demikian, klausa pemuda itu berhasil
pada kalimat (1) dan klausa polisi muda
itu bunuh diri (2) lebih diutamakan, sedangkan klausa karena ia bekerja keras (1) dan setelah
cintanya ditolak (2) merupakan informasi tambahan.
B.3 Hubungan Semantis Antarklausa dalam
Kalimat Majemuk Bertingkat
Alwi dkk. (2003:404)
Seperti halnya dengan kalimat majemuk setara, hubungan semantis antarklausa
dalam kalimat majemuk bertingkat juga ditentukan oleh macam koordinator yang dipakai dan makna lesksikal dari kata
atau frasa dalam klausa masing-masing. Perhatikan hubungan semantis kedua
klausa pada contoh-contoh berikut.
(1)
Saya mau mengawinimu
karena
kamu adik Habibi.
(2) Saya mau mengawinimu meskipun
kamu adik Habibi.
Klausa-klausa yang ada pada (1) dan (2) persis sama.
Akan tetapi, karena koordinator yang dipakai berbeda, yakni karena pada (1) dan meskipun pada (2) kalimat (1) dan (2) mempunyai makna yang jauh
berbeda: (1) menyatakan hubungan penyebaban dan (2) hubungan konsesif.
Tentu saja kedua kalimat di atas dapat diterima
karena makna leksikal masing-masing kata pada setiap klausa adalah koheren. Sandainya
klausa kedua diganti dengan komputer ini
baik, secara semantis bentuk *saya
mau mengawinimu karena /meskipun komputer ini baik akan kita tolak.
Hubungan semantis antara klausa subordinatif dan
klausa utama banyak ditentukan oleh jenis dan fungsi klausa subordinatif.
Berikut adalah beberapa macam hubungan semantis yang ada antara klausa
subordinatif dan klausa utama:
(a) waktu
(h) hasil atau
akibat
(b) syarat
(i) cara
(c) pengandaian
(j) alat
(d) tujuan
(k) komplemensi
(e) konsesif
(l) atribut
(f) pembandingan
(m) perbandingan
(g) sebab
atau alasan (n) optatif
Hubungan semantis (a) –(j) bertalian dengan para
semantis klausa adverbial subordinatif, dan (k) dengan klausa nominal, (i)
dengan klausa relatif, dan (m) dengan klausa perbandingan.
B. 3.1 Hubungan
Waktu
Klausa subordinatif
menyatakan waktu terjadinya peristiwa atau keadaan yang dinyatakan dalam
klausa utama. Hubungan waktu itu dapat dibedakan lagi menjadi (a) waktu batas
permulaan, (b) waktu bersamaan, (c) waktu berurutan, dan (d) waktu batas akhir
terjadinya peristiwa keadaan.
a. Waktu
Batas Permulaan
Untuk
menyatakan hubungan waktu batas permulaan, dipakai subordinator seperti sejak dan sedari. Perhatikan contoh berikut.
(1)
Sejak
aku
diserahkan orang tuaku kepada Nenek, aku tidur di atas dipan di
kamar Nenek yang luas.
(2)
Anto selalu tertarik pada roda yang
berputar sejak ia mulai belajar
merangkak.
(3)
Sedari
saya
masih di SD, saya suka pelajaran bahasa.
(4)
Saya sudah terbiasa dengan hidup
sederhana sedari saya masih
anak-anak.
b. Waktu
Bersamaan
Hubungan
waktu bersamaan menunjukan bahwa peristiwa atau keadaan yang dinyatakan dalam
klausa utama dan klausa subordinatif terjadi pada waktu yang bersamaan atau
hampir bersamaan. Subordinator dipakai untuk menyatakan hubungan itu, antara
lain adalah (se) waktu, ketika, seraya,
serta, sambil, sementara, selagi, tatkala, dan selama. Perhatikan contoh
berikut.
(1) Peritiwa
itu terjadi (se)waktu keluargaku sedang dalam suasana berkabung.
(2) Aku
tidak mengerti akan hal itu ketika
aku masih anak-anak.
(3) Anton
menarik lengan saya seraya menunjuk ke sebuah mobil VW yang sedang
diperbaiki mesinnya.
c.
Waktu Berurutan
Hubungan waktu
bersamaan menunjukan bahwa peristiwa atau keadaan yang dinyatakan dalam klausa
utama Hubungan waktu berurutan menunjukan bahwa yang dinyatakan dalam klaua
utama lebih dahulu atau lebih kemudian daripada yang dinyatakan dalam klausa
subordinatif. Subordinator yang bisa dipakai adalah, antara lain, sebelum
setelah sesudah,sesuai begitu dan sehabis. Perhatikan contoh berikut.
(1) Sanusi
datang tepat pada waktunya sebelum kejemuan
mampu mengubah niatku.
(2) Ia
baru kembali ke desa setelah biaya untuk melanjutkan sekolahnya tidak ada.
(3) Sesudah dua tahun berkabung, Bapak ingin bekerja lagi
di Balikpapan.
d.
Waktu Batas Khawatir
Hubungan waktu
batas akhir dipakai untuk menyatakan ujung suatu proses dan subordinator yang
dipakai adalah sampai dan hingga. Perhatikan contoh berikut.
(1)
Gotong royong itu berjalan dengan lancar
sampai kami menyelesaikan sekolah.
(2)
Yanto mengurus adik-adiknya hingga bapaknya pulang dari kantor.
B.3.2 Hubungan Syarat
Hubungan syarat terdapat dalam kalimat yang klausa
subordinatifnya menyatakan syarat telaksananya apa yang disebut dalam klausa
utama. Subordinator yang lzim dipakai adalah jika(lau), kalau, dan
asal(kan). Disamping itu subordinator kalau,
apa(bila), dan bilamana juga
dipakai jika syarat itu bertalian dengan waktu. Perhatikan contoh berikut.
(1) Jika Anda
mau mendengarkanya, saya tentu senang sekali menceritakannya.
(2) Anda
boleh makan-makanan yang mengandung lemak asalkan
Anda mengetahui batas jumlah lemak yang tidak akan mengganggu kesehtan Anda.
(3) Ini
hanya dilakukannya dalam keadaan darurat kalau
waktu memang mendesak.
B.3.3 Hubungan
Pengandaian
Hubungan pengandaian terdapat dalam kaliamat majemuk
yang klausa subordinatifnya menyatakan andaian terlaksananya apa yang
dinyatakan klausa utama. Subordinator yang lazim dipakai adalah: seandainya, andaikata, andaikan, dan sekiranya. Perhatikan contoh berikut.
1)
Seandainya
para kelompok itu menerima norma itu, selesailah seluruh permasalahan.
Di samping itu,
lazim pula dipakai ubordinator jangan-jangan
jika hubungan pengandaianya menggambarkan kekhawatiran seperti yang terlihat
pada contoh berikut.
2) Sudah
dua hari dia sakit, jangan-jangan dia
sakit.
Jika pengandaian
itu berhubungan dengan ketidakpastian, subordinator yang digunakan adalah kalau-kalau.
3) Ia
menengok keluar kalau-kalau anaknya
datang.
B.3.4 Hubungan Tujuan
Hubungan tujuan terdapat dalam kaliamat yang klausa
subordinaatifnya menyatakan suatu tujuan atau harapan yang disebut dalam klaua
utama. Subordinator yang dipakai untuk menyatakan hubungan itu adalah agar, supaya, untuk, dan biar.
Subordinator biar terbatas pemakaiannya pada ragam bahasa Indonesia informal.
Perhatikan contoh berikut.
(1) Saya
sengaja tinggal di kota kecil agar
mengetahui kehidupan di sana.
(2) Saya
bekerja sampai malam (agar) supaya
anak-anak saya melanjutkan sekolahnya.
(3) Anggota
DPR itu pergi ke daerah malapetaka untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas.
B.3.5 Hubungan Konsesif
Hubungan konsesif terdapat dalam kalimat majemuk
yang klausa subordinatifnya mengandung pernyataan yang tidak akan mengubah apa
yang dinyatakan dalam klausa utama. Subordinator yang bisa dipakai adala
walau(pun), meski(pun), sekalipun, sungguh(pun), sekalipun dan biarpun.
Perhatikan contoh berikut.
(1) Walaupun/mekipun
hatinya sangat sedih, dia tidak pernah menangis di hadapanku.
(2) Perjuangan
berjalan terus kendatipun musuh telah
menduduki hampir semua kota besar.
(3)
Ibunya terus menjahit ampai tengah malam
sungguhpun dia telah merasakan adanya
kelainan dalam dadanya.
Perlu dicatat bahwa dalam ragam baku subordinator walaupun/meskipun tidak diikuti oleh tetapi. Dengan demikian, kalimat (1) di
atas tidak dapat diubah menjadi kalimat berikut.
*Walaupun/meskipun hatinya angat sedih, tetapi dia tidak pernah menangis di
hadapanku.
Bentuk seperti betapapun, siapa pun, kapan pun, ke
mana pun, dan apa pun dapat pula dipakai ebagai penghubung kensesif. Perhatikan
contoh berikut ini.
1) Dia
melepakan Toni pergi betapapun besar
cintanya.
2) Siapa pun
yang minta, Pak Anwar selalu bersedia memberikan sumbangannya.
3) Tuti
selalu ikut ke mana pun ibunya pergi.
B.3.6 Hubungan Perbandingan
Hubungan perbandingan terdapat dalam kalimat majemuk
yang klausa subordinatifnya menyatakan perbandingan, kemiripan, atau preferensi
antara apa yang dinyatakan dalam klausa utama dengan yang dinyatakan pada
klausa subordinatif itu. Subordinator yang biasa dipakai adalah seperti, bagaikan, laksana, ibarat,
bagaimana, daripada dan alih-alih.
Pethatikan contoh berikut.
(1) Pak
Hamid menyayangi semua kemenakannya seperti
dia menyayangi anak kandungnya.
(2) Penjahat
itu dengan cepat menyambar perhiasan korbannya laksana/bagaikan seekor kucingmenerkam mangsanya.
(3) Saya
akan menolongmu sebagaimana ayahmu
telah menolong keluargaku.
B.3.7 Hubungan Penyebaban
Hubungan penyebab terdapat dalam kalimat yang klausa
subordinatifnya menyatakan sebab atau alasan terjadinya apa yang dinyatakan
dalam klausa utama. Subordinator yang biasa dipakai adalah sebab, karena, akibat, dan oleh karena. Perhatikan contoh berikut.
(1) Pusat
Penelitian Kependudukan terpaksa menangguhkan beberapa rencana penelitian sebab belum ada tenaga pelaksana yang siap.
(2)
Keadaan menjadi genting lagi karena musuh akan melancarkan aksinya
lagi di Bandung.
Jika hubungan penyebaban itu menggambarkan ciri
makna ‘hanya karena ..., maka ...,’ subordinator yang digunakan ialah mentang-mentang. Perhatikan contoh
berikut.
Mentang-mentang
kaya, barang-barang yang tidak diperlukan pun kamu beli.
B. 3.8 Hubungan Hasil
Hubungan hasil terdapat dalam kalimat yang klausa
subordinatifnya menyatakan hasil atau akibat dari apa yang dinyatakan dalam
klausa utama. Hubungan ini biasanya dinyatakan dengan memakai Subordinator seperti
sehingga, sampai (-sampai), dan maka. Perhatikan
contoh berikut.
(1) Perseliihan
antara ayah dan ibunya makin memuncak sehingga
praktis tidak ada kerukunan dalam keluarga itu.
(2) Biaya
pengobatannya sungguh mahal sampai-sampai
semua perhiasan istrinya sudah habis terjual.
(3) Kami
tidak setuju, maka kami pun protes.
B.3.9 Hubungan Cara
Hubungan cara terdapat dalam
kalimat yang klausa subordinatifnya menyatakan cara pelaksanaan dari apa yang
dinyatakan oleh klausa utama. Subordinator yang sering dipakai adalah dengan dan tanpa. Perhatikan contoh
berikut.
(1)
Elly Pical mencoba bertahan dengan menghindar.
(2)
Pencari intan bekerja tanpa menghiraukan bahaya di
sekelilingnya.
B.3.10 Hubungan
Alat
Hubungan alat
terdapat pada kalimat
yang klausa subordinatifnya menyatakan alat yang dinyatakan oleh klausa utama.
Subordinator yang dipakai sama dengan yang dipakai untuk hubungan cara, yakni dengan dan tanpa. Perhatikan contoh
berikut.
(1) Dia
menangkap ikan dengan mempergunakan
kail.
(2) Mereka
membersihkan Monas tanpa memakai
peralatan modern.
B.3.11 Hubungan
Komplementasi
Dalam hubungan komplementasi,
klausa subordinatif melengkapi apa yang dinyatakan oleh verba klausa utama atau
oleh nomina subjek, baik dinyatakan maupun tidak. Subordinator yang sering dipakai
adalah bahwa. Hubungan itu akan lebih
jelas jika kita perhatikan contoh berikut.
(1) Penulis
perlu menekankan di sini bahwa isi
bukunya belumlah sempurna.
(2) Berkas
riwayat hidupnya menunjukan bahwa dia
pernah menjadi pelajar teladan untuk tingkat kabupaten dan provinsi.
Dalam
kalimat (1), klausa subordinatif melengkapi makna verba predikat klausa utama menekankan. Dalam kalimat (2), klausa
subordinatif melengkapi makna verba predikat menunjukan. Berikut beberapa contoh lain.
(1) Sekarang
dia baru tahu bahwa pacarnya bisa
memasak.
(2) Pendidikan
sistem Eropa mengjarkan kepada sastrawan bahwa
dunia sastra tidak harus sepenuhnya ditautkan pada dunia keagamaan.
(3) Bahwa
cinta tanah air adalah bagian yang penting dari semangat kepramukaan telah
berkali-kali dikemukakannya.
Jika
susunan kalimat cukup terang, kata penghubung bahwa dalam bahasa yang tidak
formal sering dihilangkan, seperti dalam contoh yang berikut.
(1) Duta
bear itu meneknkan (bahwa) pemerintahnya akan membantu sepenuhnya peningkatan
kesejahteraan masyarakat pedesaan.
(2) Saya
dengar (bahwa) Pak Amir akan pindah.
Dalam ragam tak resmi sering
digunakan konjungtor kalau alih-alih bahwa. Bandingkan a dan b pada contoh
berikut.
(1) a. Di koran disebutkan kalau bank itu tidak sehat.
b.
Di koran disebutkan bahwa bank itu
tidak sehat.
(2) a.
Berita kalau dia akan diganti sudah
tersebar luas.
b.
Berita bahwa dia akan diganti sudah
tersebar luas.
(3) a.
Surat ini menunjukan kalau dia marah.
b. Surat ini menunjukan
bahwa dia marah.
Jika makna atau proposisi yang
terkandung dalam klausa subordinatif berhubungan dengan ketidakpastian,
pertanyaan, atau jawaban yang tersirat, maka klausa subordinatifnya berbentuk
klausa tanya yang ditandai oleh (a) kata tanya seperti apa, siapa, mengapa, atau bagaimana, yang bisa diikuti oleh
partikel –kah, atau (b) gabungan kata
seperti dengan siapa, untuk apa, atau ke
mana. Bentuk-bentuk ini sekaligus berfungi sebagai penghubung klausa utama
dan klausa subordinatif. Berikut adalah beberapa contoh.
(1) Dia
belum tahu apakah dia akan berangkat
ke konferensi itu.
(2) Kami
masih menyelidiki siapa yang mencuri
dokumen itu.
(3) Dia
menceritakan bagaimana rakyat hidup
di Timor Timur sesudah gempa terjadi.
Kalimat eksklamatif juga dapat menjadi klausa
subordinatif sejenis itu, seperti terlihat pada kalimat berikut.
Dia
membuktikan alangkah cantiknya gadis
Bali itu.
Isi pernyataan atau pertanyaan,
selain dinyatakan dalam bentuk klausa subordinatif dapat juga dinyatakan dalam
bentuk kutipan langsung. Dalam hal ini, kutipan tersebut biasanya mendahului
verba yang menyatakan cara pengujarannya. Verba itu sendiri berbentuk
dasar tanpa afiks. Dalam contoh berikut
terlihat bahwa verba yang menggambarkan
cara pengujaran itu ialah jawab, tulis, dan hardik.
(1) “Saya
belum mau kawin,” jawab gadis itu.
(2) “Bulan
depan saya akan pulang,” tulis Adi dalam suratnya.
(3) “Cepat
keluar,” hardik orang itu.
(4)
B.3.12 Hubungan Atributif
Hubungan atributuf oleh
subordinator yang. Ada dua macam hubungan atributif: (a) restriktif dan (b)
takretriktif. Klausa yang dihasilkan sering pula disebut “klausa relatif”
dengan kedua macam hubungan di atas.
a. Hubungan
Atributif Restriktif
Dalam
hubungan seperti ini, klausa relatif mewatasi makna dari nomina yang
diterangkannya. Dengan kata lain, bila ada suatu nomina yang mendapat
keterangan tambahan yang berupa klausa relatif-restriktif, maka klausa itu merupakan bagian integral dari nomina yang
diterangkannya. Dalam hal penulisannya perlu di perhatikan benar bahwa klausa
relatif macam ini tidak di tandai oleh tanda koma, baik dimuka maupun di
belakangnya. Perhatikan contoh berikut.
(1) Pamannya
yang tinggal di Bogor meninggal
kemarin.
(2) Para
pedagang yang menunggak lebih dari 35
miliar rupiah akan di cekal.
(3) Pemegang
MBA yang kuliah enam bulan harus
menanggalkan gelarnya.
Pada kalimat (1) tampak bahwa klausa
relatif yang tinggal di Bogor, yang
tidak ditulis di antara dua tanda koma, mewatasi makna kata pamannya. Artinya, si pembicara mempunyai beberapa
paman; yang meninggal kemarin adalah yang tinggal di Bogor. Kalimat (2) dan (3) juga bisa
dijelaskan dengan cara yang sama. Pada (2) tidak semua pedagang kena cekal;
hanya yang menunggak lebih dari 35 miliar rupiahlah yang dicekal meninggalkan
Indonesia. Pada (3) hanya memegang gelar MBA yang kuliahnya sangat pendeklah
yang harus menanggalkan gelarnya.
b. Hubungan
Atributi Takrestriktif
Berbeda
dengan klausa yng restriktif, klausa subordinatif yang takrestriktif hanyalah memberikan sekadar tambahan informasi pada nomina
yang diterangkannya. Jadi, ia tidak mewatasi nomina yang mendahuluinya. Karena
itu, dalam penulisannya klausa ini dapat diapit oleh dua tanda koma. Perhatikan
kontras makna dan cara penulisan antara klausa restriktif dan takrestriktif
berikut ini.
(1) Istri
saya yang tinggal di Bogor meninggal kemarin.
(2) Istri
saya, yang tinggal di Bogor,
meninggal kemarin.
Klausa
relatif yang tinggal di Bogor pada (1) tidak diapit oleh tanda baca koma, sedangkan
pada (2) diapit oleh dua
tanda baca ini. Makna dari kedua kalimat itu pun berbeda. Kalimat (1)
menyiratkan bahwa si pembicara mempunyai lebih dari satu istri dan yang
meninggal adalah istri dan yang meninggal adalah istri yang tinggal di Bogor. Sebaliknya, dengan klaua relatif yang
takrestriktif, kalimat (2) menyatakan bahwa istrinya hanya satu. Klausa yang tinggal di Bogor hanya sekadar memberi keterangan tambahan di
mana istrinya tinggal. Berikut adalah beberapa contoh lain.
(1) Pegawai
kami, yang menyelewengkan dana Inpres,
akan ditindak.
(2) Polisi
lalu lintas, yang bertugas mengatur jalan,
malah pergi kalau hujan turun.
(3) Adik
saya, yang masih di SMP, sudah mahir
sekali memakai komputer.
(4) KUD,
yang menjadi pembeli cengkeh didaerah,
sering kehabisan dana.
(5) Pendapat,
yang dia nyatakan secara terus terang itu
menggugah hati kami.
(6) Para
pegawai yang gajinya kecil tidak
wajib memberi sumbangan.
B.3.13
Hubungan
Perbandingan
Hubungan perbandingan tedapat dalam
kalimat majemuk bertingkat yang klausa
subordinatif dan klausa utamanya mempunyai unsur yang sama yang tarafnya sama
(ekuatif) atau berbeda (komparatif).
Klausa subordinatif pebandingan selalu
mengalami pelesapan. Unsur yang dilesapkan adalah unsur yang menyatakan sifat
yang teruktur yang ada pada klausa utama dan klausa subordinatif.
a. Hubungan
Ekuatif
Hubungan
ekuatif muncul bila hal atau unsur pada klausa subordinatif dan klausa utama yang diperbandingkan sama tarafnya.
Bentuk yang di gunakan untuk menyatakan hubungn ekuatif adalah sama ... dengan atau bentuk se- perhatikan contoh berikut.
1) a. Gaji istrinya sama besar dengan gaji
saya (besar).
b. Gaji
istrinya sebesar gaji saya.
2) a. Rumah ini sama tua dengan saya
(tua).
b. Rumah
ini setua saya.
3) a. Ingatannya sekarang tidak sama tajam dengan ingatanya dahulu (tajam).
b. Ingatannya
sekarang tidak setajam ingatanya
dahulu.
Pada kalimat (1), unsur
atau hal yang dibandingkan pada klaua subordinatif dan klausa dan klausa utama
adalah gaji saya dan gaji istrinya yang sama tarafnya dalam
hal besarnya. Pada kalimat (2) unsur atau hal pada klausa subordinatif dan
klausa utama yang diperbandingkan adalah saya
dan rumah ini yang sama tarafnya
dalam hal usia (ketuaan). Pada (3), unsur yang diperbandingkan dalam klausa
utama dan klausa subordinatif adalah ingatannya
sekarang dan ingatannya dahulu
yang (tidak) sama tarafnya dalam hal tajamnya.
c. Hubungan
Komparatif
Hubungan
komperaktif muncul bila hal tau unsur pada klausa subordinatif dan klausa utama
yang diperbandingkan berbeda tarafnya. Bentuk yang digunakan untuk menyatakan
hubungan komperatif adalah lebih/kurang ... dari (pada). Perhatikan contoh
berikut.
(1) Dia lebih cepat mengetik dengan komputer daripada mengetik dengan mesin.
(2) Pembantu saya lebih enang menonton film India daripada menonton filem Barat.
(3) Dia kurang mahir berbahasa Inggris dari(pada)
anaknya.
Pada
kalimat (1), unsur pada klaua utama dan klausa subordinatif yang
diperbandingkan adalah mengetik dengan
komputer dan mengetik dengan mesin tik yang berbeda tarafnya dalam
hal cepatnya. Pada (2), unsur yang diperbandingkan adalah menonton film India dan (menonton)
film barat yang berbeda dalam hal senangnya. Pada (3), unsur yang
diperbandingkan adalah dia dan anaknya yang berbeda tarafnya dalam hal
kemahirannya berbahasa Inggris.
B.3.14 Hubungan
Optatif
Hubungan
optatif terdapat dalam kalimat majemuk bertingkat yang klausa utamanya
menyatakan ‘harapan’ agar apa yang dinyatakannya dalam klausa subordinatif
dapat terjadi. Subordinator yang lazim digunakan kalimat yang mengungkapkan
hubungan optatif itu ialah semoga
atau moga-moga dan mudah-mudahan.
1) Kita
berdoa semoga kemalangan ini segera diatasi.
2) Pemimpin baru ini membawa harapan mudah-mudahan bangsa
Indonesia semakin sejahtera.