TEORI –TEORI PEMBELAJARAN DALAM
PSIKOLOGI DAN LINGUISTIK
Kelompok 4 :
1.
Heriza Nevisi Yanda Putri 1523041013
2.
Nila Candra
1523041003
Mata Kuliah : Psikolinguistik
Dosen
Pengampu : Dr. Siti Samhati, M.Pd.
Dr. Edi Suyanto, M.Pd.
MAGISTER PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR
LAMPUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta
usaha yang penulis lakukan sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan.
Pada makalah ini penulis membahas mengenai “Teori –Teori Pembelajaran dalam
Psikologi dan Linguistik”.
Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan yang
sangat berharga dari berbagai pihak. Karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga diselesaikanya makalah ini.
Semoga bantuan dan amal baik yang mereka berikan kepada penulis akan memperoleh
pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Kritik yang membangun selalu penulis
harapkan guna kesempurnaan makalah ini.
Bandar Lampung, Oktober
2015
Penulis
DAFTRA ISI
HALAMAN DEPAN
........................................................................... i
KATA
PENGANTAR
........................................................................... ii
DAFTAR
ISI
......................................................................................... iii
BAB I PENDHULUAN
1.1
Latar Belakang....................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah.................................................................. 2
1.3
Tujuan Penulisan.....................
.............................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Linguistik, Psikologi dan Pembelajaran............. 3
2.2
Teori-Teori Linguistik............................................................ 3
2.2.1
Teori
Ferdinand De Saussure..................................... 3
2.2.2
Teori
Leonard Bloomfieeld....................................... 6
2.2.3
Teori John
Rupert Firth............................................... 7
2.2.4
Teori Noam Chomsky................................................. 9
2.3
Teori-Teori Pembelajaran dalam
Psikologi........................... 9
2.2.5
Teori-teori Stimulus – Respons................................. 9
2.2.6
Teori-Teori Kognitif ................................................... 16
2.4
Aplikasi Prinsip Kognitivisme dalam Pembelajaran ....... 25
2.5
Perbedaan Teori Belajar Behaviorisme
dan Kognitivisme... 26
2.5.1
Kelebihan
dan Kelemahan Teori Stimulus
Respons dan Teori Kognitif........................................... 27
BAB III PENUTUP
3.1
Simpulan............................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Disiplin
linguistik dapat dicermati adanya berbagai teori atau aliran yang
terkandung berbeda, tumpang tindih, maupun bertentangan.
Teori-teori pembelajaran
dalam linguistik akan dikaji dalam makalah ini. Ada empat aliran atau teori
pembelajaran dalam bidang lingustik, yaitu (1) yang dikemukakan Ferdinand de
Sausure, yang menganut paham psikologi kognitif, behavioristik, dan pragmatik;
(b) yang dikemukakan dan dipelopori oleh Leonard Bloomfield, yang tampak
menganut psikologi behavioristik; (c) yang dikemukan dan dipelopori oleh Jhon Rupert Firth,
yang menganut aliran pragmatistik; dan (d) yang dikemukan dan dipelopori oleh
Noam Chomsky, yang menganut paham kognitif .
Sedangkan
teori-teori pembelajaran
dalam bidang psikologi yang saling bertentangan dan saling
melengkapi pada dasarnya
dibagi dalam dua kelompok besar. Pertama, teori Stimulus–Respon dari psikologi
behaviorisme (Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov, Teori Penghubungan dari
Thorndike, Teori Behaviorisme dari Watson, Teori Kesegaran dari Guthrie, Teori
Pembiasaan Operan dari Skinner, Teori Pengurangan dorongan dari Hull, Teori
Mediasi dari Osgood dan Teori Dua Faktor dari Mouwer); dan kedua, teori
psikologi kognitifisme (Jerome S Bruner, David Ausubel,Teori Medan Gestalt dari
Wertheimer, Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget). Kedua
kelompok ini masing-masing memiliki sejumlah pakar
yang pandangannya
diwarnai juga dengan berbagai perbedaan, persamaan, saling melengkapi, dan
pertentangan. Tetapi pada dasarnya para ahli psikologi ini berusaha untuk
membantu agar konsep pembelajaran lebih
mudah dipahami orang. Jika konsep pembelajaran ini sudah lebuh dipahami, maka
kaidah-kaidah pembelajaran bahasa maupun pembelajaran mata pelajaran lain akan
dapat disempurnakan lagi.
1.2
Rumuan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, timbulah masalah yanga akan kita bahas dalam makalah
ini. Masalah itu adalah “bagaimanakah teori-teori pembelajaran dalam psikologi
linguistik?”
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan
pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami teori-teori
pembelajaran dalam psikologi linguistik berdasarkan pendapat para ahli.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Linguistik, Psikologi dan Pembelajaran
1.
Pengertian
Linguistik
Secara umum linguistik
lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai
objek kajiannya (Abdul Chaer: 2009:3).
2.
Pengertian
Psikologi
Secara etimologi kata
psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. Kata psyche berarti
“jiwa,roh, atau sukma”, sedangkan kata logos berarti “ilmu”. Jadi psikologi,
secara harfiah “ilmu jiwa”, atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa. Namun
ilmu jiwa ini tidak meneliti jiwa atau roh atau sukma. Dalam hal ini “jiwa”
atau keadaan jiwa hanya bisa diamati
melalui gejala-gejalanya seperti orang yang sedih akan berlaku murung,
dan orang yang gembira tampak dari gerak-geriknya yang riang atau dari wajahnya
yang berbinar-binar (Abdul Chaer, 2009:2).
3.
Pengertian
Pembelajaran
Secara umum
pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian latihan atau pengalaman terhadap seseorang
atau sekelompok orang agar terjadi perubahan tingkah laku yang relatif tetap
pada orang atau orang-orang itu (Abdul Chaer, 2009:83).
2.2 Teori-Teori Linguistik
2.2.1
Teori Ferdinand De
Saussure
Ferdinand
de Saussure merupakan salah satu Bapak Linguistik Modern.
Dalam semiologi,
Saussure berpendapat bahwa bahasa sebagai
“suatu sistem tanda yang mewujudkan ide” dapat dibagi menjadi dua unsur: langue (bahasa),
sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang digunakan
sebagai alat komunikasi,
dan parole (ujaran), realisasi individual atas sistem
bahasa.
Langue, Langage dan Parole
Menurut Saussure, langue bukanlah kegiatan penutur, langue
merupakan produk yang direkam individu secara pasif. Sebaliknya, parole adalah
suatu tindakan individual dari kemauan dan kecerdasannya. Langue adalah suatu
benda tertentu di dalam kumpulan heteroklit peristiwa-peristiwa langage. Dia
adalah bagian sosial dari langage, berada di luar individu, yang secara mandiri
tidak mungkin menciptakan maupun mengubahnya. Langue hanya hadir sebagai hasil
semacam kontrak di masa lalu di antara para anggota masyarakat.
Ferdinand de Saussure (1916) umpamanya membedakan pemakaian bahasa
ke dalam istilah Langage, Langue, dan Parole. Ketiga istilah yang berasal dari
bahasa Perancis tersebut, dalam bahasa Indonesia padanannya disebut dengan
bahasa, padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, walaupun
ketiganya bersangkut paut dengan bahasa. Langage adalah sebuah sistem lambang
bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal
diantara sesama pemakai bahasa. Langage ini bersifat abstrak dan juga bersifat
universal, sebab langage adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan
manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau masa tertentu. Dalam
bahasa Indonesia langage bisa dipadankan dengan kata bahasa seperti terdapat
dalam kalimat “ manusia mempunyai bahasa, binatang tidak”. Jadi, penggunaan
istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak
mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya
sebagai sarana komunikasi manusia.
Istilah kedua dari
konsep De Saussure tentang bahasa adalah langue, langue adalah sebuah sistem
lambang bunyi yang digunakan
oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan
berinteraksi dengan sesamanya. Langue mengacu pada satu sistem lambang bunyi
tertentu yang jika dipadankan dengan bahasa dalam bentuk kalimat “Joni belajar
bahasa Arab, sementara Taufik belajar bahasa Sunda”. Sebagaimana langage,
langue juga punya pola, keteraturan, atau kaidah-kaidah yang dimiliki manusia,
akan tetapi kaidah-kaidah itu bersifat abstrak alias tidak nyata-nyata
digunakan.
Jika istilah langage dan langue bersifat abstrak, maka istilah yang
ketiga dari konsep Saussure tentang bahasa yaitu Parole itu bersifat konkret.
Karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran/tuturan
yang dilakukan oleh anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi
dengan sesamanya. Dalam bahasa Indonesia bisa dipadankan dengan bahasa dalam
kalimat “ Kalau Kiayi Abd Wafi pidato, bahasanya penuh dengan kata demikian”.
Jadi parole itu bersifat nyata, dan dapat diamati secara empiris.
Contoh percakapan
Anis : (Duduk sambil membaca sebuah buku)
Lisa,, apa itu caput succedeneum,?
Lisa : apa itu
kagh??
Anis :kalau yang ku liat di sini (memperlihatkan tulisan buku yang dibacanya) masuk bagian dari trauma lahir.
Lisa :oowgh,,
mmm…
(bergumam),,, kalau yang ku tau itu semacam pembengkakan pada kepala
karena ada kayak timbunan getah bening kayak air di bawa lapisan,, hmmm apa
itu,, ee apone,,, lapisan aponeros..
Anis : apa pale
kalau cepthalhematona?
Lisa :kalau itu, sama ji pembengkakan juga
tapi kalau ini disebabkan karena adanya penumpukan darah.
Anis :owg,,
Langue : Dalam dialog tersebut
dapat dilihat ketika Anis bertanya kepada Lisa mengenai pengertian caput
succedeneum, di situ dapat diketahui ketika Lisa mengatakan hmmm (bergumam)
artinya dia memiliki konsep atau pengetahuan yang ada dipikirannya. Hal
tersebut yang menjadi langue. Langue dapat diketahui ketika dikeluarkan lewat
alat ucap atau yang disebut dengan parole.
Parole : Dalam dialog
tersebut yang menjadi parole misalnya ketika Lisa menjelaskan atau mengatakan
“mmm… (bergumam),,, kalau yang ku tau saya itu semacam pembengkakan pada
kepala karena ada kayak timbunan getah bening kayak air di bawa lapisan,, hmmm
apa itu,, ee apone,,, lapisan aponeros..” Hal tersebut dikatakan
parole karena parole itu bersifat konkret atau bisa didengar.
Langage: Dari percakapan di atas
dapat dilihat dari bahasa yang digunakan Anis dan Lisa dalam berinteraksi atau
berkomunikasi.
2.2.2 Teori Leonard Bloomfieeld
Leonard Bloomfield
(1887-1949) seorang tokoh linguistik Amerika, sebelum mengikuti aliran
behaviorisme dari Watson dan Weiss, adalah seorang penganut paham mentalisme
yang sejalan dengan teori psikologi Wundt. Kemudian beliau menentang mentalisme
dan mengikuti aliran perilaku atau behaviorisme. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap perkembangan linguistik Amerika, terutama di sekolah linguistik Yale
yang didirikan menurut ajarannya. Bloomfield menerangkan makna (semantik)
dengan rumus-rumus behaviorisme. Akibatnya, makna menjadi tidak dikaji oleh
linguis-linguis lain yang menjadi pengikutnya. Unsur¬-unsur linguistik
diterangkannya berdasarkan distribusi unsur-unsur tersebut di dalam lingkungan
(environment) di mana unsur-unsur itu berada. Distribusi dapat diamati secara
langsung sedangkan makna tidak dapat. Leonard Bloomfield dan Strukturalis
Amerika. Disebut aliran Bloomfield karena bermula dari gagasan Bloomfield.
Disebut aliran taksonomi karena aliran ini menganalisis dan mengklasifikasikan
unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.
Teori linguistik Bloomfield didasarkan pada andaian-andaian dan defenisi-defenisi
karena tidak mungkin mendengarkan semua ujaran di dalam suatu masyarakat tutur. Jadi, tidak mungkin kita dapat menunjukan bahwa pola pola yang kita
temui dalam beberapa bahasa berlaku juga pada bahasa bahasa lain. Menurut
Bloomfield bahasa itu terdiri dari sejumlah isyarat atau tanda berupa
unsur-unsur fokal (bunyi) yang dinamai bentuk bentuk linguistik. Setiap bentuk
adalah sebuah kesatuan isyarat yang dibentuk oleh fonem-fonem.
Dalam teori linguistik Bloomfield ada beberapa istilah yang perlu
dikenal, yaitu sebagai berikut:
Fonem adalah satuan bunyi terkecil dan distingtif dalam leksikon
suatu bahasa,
contoh :
contoh :
[ i ] dari kata
/samping/ mempunyai jumlah huruf tujuh (7) dan mempunyai jumlah fonem lima. Kata samping merupakan
bunyi distingtif dengan kata /simpang/.Dari kata diatas sangat terlihat
perbedaan arti dari kedua kata tersebut [a] dan [ i ].
Morfem adalah satuan atau unit
terkecil yang mempunyai makna dari bentuk leksikon.
Contoh : lilis
meminjam buku terdapat empat morfem : Erni, me-pinjam,dan
buku.
Frase adalah unit yang tidak
minimum yang terdiri dari dua bentuk bebas atau lebih
Contoh : Tante saya telah makan
di warung.
Kata diatas memiliki
tiga frase,yaitu tante saya,telah makan,di
warung.
Kata adalah bentuk bebas yang
minimum yang terdiri dari satu bentuk bebas dan ditambah bentuk-bentuk
yang tidak bebas.
Contoh : Baca,membaca,bacaan,pembaca.
Baca merupakan satu kata,sadangkan mem-,an-,dan pe-, adalah bukan
kata melainkan imbuhan. Akan tetapi mem-,an-,dan pe-, baca adalah morfem.
Kalimat adalah ujaran yang tidak
merupakan bagian dari ujaran lain dan merupakan satu ujaran yang maksimum.
Contoh : Ibu memasak di
dapur, ani membaca buku, mereka menonton TV.
2.2.3 Teori John Rupert Firth
Menurut Firth struktur bahasa itu terdiri dari lima tingkatan yaitu
tingkatan fonetik, leksikon, morfologi, sintaksis, dan semantik. Yang menjadi
unsur dalam tingkatan fonetik adalah fonem, yang menjadi unsur dalam tingkatan
morfologi adalah morfem, yang menjadi unsur dalam tingkatan sintaksis adalah
kategori-kategori sintaksis; dan yang menjadi unsur dalam tingkatan semantik
adalah kategori-kategori semantik. Firth lebih memusatkan perhatian pada
tingkatan fonetik dan tingkatan semantik. Sedangkan tingkatan lain kurang
diperhatikan. Konteks fonologi terbatas pada bunyi-bunyi “dalam” yang terdapat
pada kata. Bentuk yang meragukan pada satu tingkat, tidak selalu meragukan pada
tingkatan lain. Misalnya, bentuk /kèpala] dalam bahasa Indonesia. Pada
tingkatan fonetik bentuk ini meragukan sebab ada beberapa makna kata kepala
dalam bahasa Indonesia. Untuk menjelaskan, kita dapat beranjak ketingkatan yang
lebih tinggi yaitu tingkatan morfologi atau sintaksis atau semantik. Dalam
konteks morfologi bentuk kepala kantor ataupun keras kepala tidak meragukan
lagi.
Arti atau makna menurut teori Firth adalah hubungan antara satu
unsur pada satu tingkatan dengan konteks unsur itu pada tingkatan yang sama.
Jadi, arti tiap kalimat terdiri dari lima dimensi, yaitu berikut ini.
1.
Hubungan tiap fonem dengan
konteks fonetiknya (hubungan fonem satu sama lain dalam kata).
2.
Hubungan kata-kata satu sama
lain dalam kalimat.
3.
Hubungan morfem pada satu kata
dengan morfem yang sama pada kata lain, clan hubungannya dengan kata itu.
4.
Jenis kalimat clan bagaimana
kalimat itu digolongkan.
5.
Hubungan kalimat dengan konteks
situasi.
Ada dua jenis
perkembangan dalam ilmu linguistik yang selalu dikaitkan dengan Firth, yaitu
(a) teori konteks situasi untuk menentukan arti, (b) analisis prosodi dalam
fonologi. Teori konteks situasi ini menjadi dasar teori linguistik Firth;
beliau menolak setiap usaha untuk memisahkan bahasa dari konteksnya dalam
kehidupan manusia dan budaya. Firth menekankan bahwa makna merupakan jantung
dari pengkajian bahasa. Semua analisis linguistik dan pernyataan-pernyataan
tentang linguistik haruslah merupakan analisis dan pernyataan mengenai makna.
Dalam hal ini beliau memperkenalkan dua kolokasi untuk menerangkan arti, yaitu
arti gramatikal clan arti fonologis.
2.2.4 Teori Noam
Chomsky
Menurut Teori Chomsky untuk dapat menyusun tata
bahasa dari suatu bahasa yang masih hidup (masih digunakan dan ada penuturnya)
haruslah ada teori umum mengenai apa yang membentuk tata bahasa itu. Teori umum
itu adalah satu teori ilmiah yang
disusun berdasarkan satu korpus ujaran yang dihasilkan oleh para bahasawan asli
bahasa itu. Dengan korpus ujaran itu dapat di tarik kesimpulan-kesimpulan umum
atau kaidah-kaidah umum tata bahasa yang dapat digunakan untuk memprediksikan
semua ujaran yang dapat dihasilkan oleh seorang penutur asli bahasa itu.
2.3 Teori-Teori Pembelajaran dalam
Psikologi
2.3.1
Teori-teori
Stimulus – Respons
Disebut
teori stimulus-respons karena teori ini memiliki dasar pandangan bahwa perilaku
itu, termasuk perilaku berbahasa, bermula dengan adanya stimulus (ransangan, aksi)
yang segera menimbulkan respons (reaksi, gerak balas).
a.
Teori
pembiasaan klasik dari Pavlov
Teori
pembiasaan klasik ini merupakan teori pertama dalam kelompok teori
stimulus-respons. Teori ini ditemukan secara kebetulan oleh Ivan P. Pavlov
(1848-1936) seorang ahli fisiologi bangsa Rusia. Sewaktu beliau mengkaji proses
pencernaan hewan, dia mendapati bahwa sebelum seekor anjing mulai memakan
makanan, air liurnya telah telah lebih dahulu keluar. Setiap anjing yang
diamati melihat makanan, air liur anjing selalu keluar. Maka Pavlov ingin
melatih anjing itu untuk mengeluarkan air liurnya sekalipun makanan tidak
diberikan.
Berdasarkan hasil eksperimennya, Pavlov beranggapan bahwa
pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respon-respon yang dibiasakan (RD).
Menurut teori Pembiasaan Klasik ini kemampuan seseorang untuk
membentuk respon-respon yang dibiasakan berhubungan erat dengan jenis sistem
yang digunakan. Teori ini percaya adanya perbedaan-perbedaan yang dibawa sejak
lahir dalam kemampuan belajar. RD dapat diperkuat dengan ulangan-ulangan
teratur dan intensif. Pavlov tidak tertarik dengan “pengertian” atau
“pemahaman” atau yang disebut insight (kecepatan melihat
hubungan-hubungan di dalam pikiran). Akhirnya bisa dikatakan bagi Pavlov respon
yang dibiasakan adalah unit dasar pembelajaran yang paling baik.
Teori
pembiasaan klasik ini jika kita kaitkan dengan pembelajaran yaitu ketika
seorang guru saat pertama kali mengajar harus memberikan aturan awal yang
matang. Aturan awal tersebut harus konsisten dan tidak boleh berubah-ubah. Rangsangan awal itulah yang
mengakibatkan terjadinya pembiasaan. Seperti seorang guru memberikan aturan
saat mengumpulkan tugas harus tepat waktu maka siswa akan terbiasa untuk
mengumpulkan tugas dengan tepak waktu tanpa diberitahukan lagi.
b. Teori penghubung dari Thorndike
Teori penghubung
diperkenalkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1919), seorang ahli psikologi
berkebangsaan Amerika. Teori ini dimulai dengan sebuah eksperimen yang disebut
trial and error. Dalam eksperimen itu Thorndike menempatkan seekor kucing di
dalam sebuah sangkar besar. Sangkar itu dapat dibuka dari dalam dengan menekan
sebuah engsel. Dalam usahanya untuk keluar kucing itu mencakar-cakar kesana
kemari; lalu secara kebetulan kakinya menginjak engsel sehingga pintu
sangkarpun terbuka dan dia bisa keluar. Eksperimen ini diulang oleh Thorndike
dan kucing itu berperangai yang sama. Setelah eksperimen itu beberapa kali
dilakukan berturut-turut jumlah waktu yang diperlukan oleh kucing untuk membuka
pintu sangkar itu semakin sedikit dan akhirnya dia dapat membuka pintu sangkar
itu dengan segera tanpa harus mencakar dulu ke sana ke mari.
Dari hasil eksperimennya, Thorndike berpendapat bahwa pembelajaran
merupakan suatu proses menghubung-hubungkan di dalam sistem saraf dan tidak ada
hubungannya dengan insight atau pengertian. Karena itu, teori
pembelajarannya disebut connectionism atau S-R bond theory (teori
gabungan stimulus-respon). Thorndike merumuskan dua kaidah hukum yang utama,
yaitu the law of exercise (hukum latihan), dan the law of effect
(hukum akibat). Yang dimaksud dengan hukum latihan adalah hukum pembentukan
kebiasaan atau tabiat. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum akibat adalah tidak
lain dari yang sekarang kita kenal dengan istilah reinforcement atau
penguatan.
Teori
penghubungan ini jika dikaikan dengan pembelajaran yaitu dengan cara inquiri
(menemukan). Seperti seorang guru memberikan beberapa gambar dan diperlihatkan
kepada siswa. Dengan melihat gambar tersebut maka siswa akan menghubungkan gambar-gambar
tersebut secara sistematis. Siswa akan menemukan sebuah cerita baru yang
dihasilkan dari menghubungkan gambar. Hal ini dapat mengasah otak siswa untuk
berpikir menemukan sesuatu
hal yang baru dari sebuah gambar.
c.
Teori
Behaviorisme dari Watson
Di Amerika
Serikat Watson dikenal sebagai bapak behaviorisme karena prinsip-prinsip
pembelajaran barunya berdasarkan teori stimulus-respons yang juga dalam
persaingan dengan teori struktualisme dan mentalisme Wundt. Menurut
behaviorisme yang dianut oleh Watson tujuan utama psikologi adalah membuat
prediksi dan pengendalian terhadap perilaku; dan dan sedikitpun tidak ada
kaitannya dengan kesadaran.
Dalam pembelajaran yang didasarkan pada hubungan stimulus-respon,
Watson mengemukakan dua prinsip penting yaitu prinsip kebaruan dan prinsip
frekuensi. Menurut prinsip kebaruan jika suatu stimulus baru saja menimbulkan
respon, maka kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respon yang sama
apabila diberikan umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan
umpan setelah lama berselang. Menurut prinsip frekuensi apabila suatu stimulus
dibuat lebih sering menimbulkan satu respon, maka kemungkinan stimulus itu akan
menimbulkan respon yang sama pada waktu yang lain akan lebih besar.
Teori
behaviorisme ini kaitannya dengan pembelajaran adalah kita dapat melihat
bagaimana tabiat seseorang dari perilakunya. Ketika kita melakukan pelajaran
terhadap perilaku hal tersebut tidak dapat ditebak-tebak atau dipelajari tetapi
bisa dilihat dari reaksi. Contoh memberikan tugas kepada siswa maka ada yang
setuju dan ada yang tidak dari situ kita tahu tabiat seseorang. Dengan demikina
seorang guru dapat mengenali dan mengetahui bagaimana tabiat peserta didiknya.
d.
Teori
kesegaran dari Guthrie
Teori
kesadaran atau kedekatan (dalam bahasa
Inggris Lazim disebut temporal contiguity atau contigous conditioning)
diperkenalkan oleh Guthrie. Menurutnya kesegaran hubungan diantara satu
gabungan stimulus-respons akan memperbesar kemungkinan berulangnya pola
pasangan stimulus-respons ini. Jadi kesegaran merupakan kunci pembelajaran
dalam teori ini, dan bukannya penguatan.
Guthrie berpendapat bahwa pembelajaran tidak berlangsung secara
perlahan-lahan atau berangsur-angsur, tetapi secara coba-tunggal. Oleh karena
itu, latihan dan ulangan diperlukan untuk membiasakan stimulus baru untuk
menimbulkan respon yang dikehendaki. Dalam pembelajaran bahasa asing, misalnya,
setiap bagian dari kalimat yang betul harus diusahakan agar berhubungan
stimulusnya, sehingga sebuah kalimat yang betul akan berkembang melalui
latihan.
Pembelajaran coba-tunggal yang dianjurkan oleh Guthrie ini
memerlukan pengaturan keadaan sedemikian rupa sehingga stimulus-stimulus yang
diberikan haruslah menimbulkan respon-respon yang betul. Oleh karena itu,
kesalahan-kesalahan haruslah dihilangkan dengan cara mengkaji stimulus itu
dengan saksama agar menimbulkan respon yang betul bersama-sama dengan
stimulusnya.
Teori
kesegeraan ini kaitannya dengan pembelajaran adalah guru dalam proses
pembelajaran memberikan tekanan
kepada siswa agar memperbesar respons atau reaksinya, dengan demikian siswa
dapat menyelasaikan tugas dengan tidak menunda tugas tersebut. Sehubungan
dengan adanya tekanan tersebut siswa terbiasa untuk mengerjakan tugasnya karena
adanya tekanan dari guru. Tekanan tersebut bisa membuat siswa segera menyelesaikan tugas dengan tepat waktu.
Jadi, apa yang ingin disampaikan janganlah ditunda-tunda karena akan memberikan tekanan yang tidak dipuji.
e. Teori pembiasaan operan dari Skinner
Teori
pembiasaan operan (sering juga disebut pembiasaan instrumental) diperkenalkan
oleh B. F. Skinner seorang ahli psikologi Amerika yang dikenal sebagai tokoh
utama aliran neobehaviorisme. Teori ini pun dikenal sebagai aliran
neobehaviorisme karena sebenarnya teori ini adalah bentuk baru dari
behaviorisme.
Konsep-konsep yang dikemukanan tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Respon yang diterima seseorang tidak sesederhana
konsep yang dikemukakan tokoh sebelumnya, karena stimulus-stimulus yang
diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan
mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku.
Operant Conditioning adalah hukum
belajar yang dihasilkan oleh B.F. Skinner yang melakukan eksperimen yang terhadap tikus menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku
diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku
operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.
Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical conditioning.
Teori
pembiasaan operan ini kaitannya dengan pembelajaran adalah guru selalu mendesak
siswa untuk berpikir cepat tanpa adanya dispensasi menunggu-nunggu waktu.
Dengan adanya hal tersebut, siswa bisa mengerjakan tugas dengan tepat waktu dan
berpikir cepat. Hal ini membuat siswa terbiasa berpikir cepat dalam menerima
dan merespon pembelajaran. Contoh guru memberikan soal yang langsung harus
dijawab. Guru tidak harus memikirkan mental siswanya. Teori ini merupakan
sesuatu yang tampak.
f.
Teori
Pengurangan Dorongan dari Hull
Teori
pengurangan dorongan atau ketegangan yang termasuk kelompok teori S-R,
diperkenalkan oleh Clark Hull (1952) yang dibentuk berdasarkan teori Pavlov.
Yang dimaksud dengan teori dorongan adalah keadaan tegang sementara yang
dialami oleh keperluan-keperluan fisik seperti keadaan lapar atau haus. Teori
ini mempunyai empat peringkat pembelajaran; (a) variabel bebas yang dapat
berdiri sendiri, (b) peringkat kedua dan ketiga berupa variabel penengah, dan
(c) variabel tidak bebas.
Teori
pengurangan dorongan ini kaitannya dengan pembelajaran adalah jika seorang
guru melihat titik jenuh pada siswa maka jangan terlalu ditekan. Kurangilah
tekanan pada pembelajaran karena dapat mematikan karakter siswa. Jika
siswa mengalami ketegangan ketika belajar maka guru dapat memberikan sumbangan
ide. Hal ini agar memancing kembali semangat untuk siswa.
g.
Teori
Mediasi dari Osgood
Teori mediasi diperkenalkan oleh
Osgood (1953, 1962). Teori mediasi ini telah merintis lahirnya teori-teori kognitif kerena
mengakui adanya mediasi atau penengah diantara rangsangan (stimulus) dan gerak
balas (respons).
Osgood telah menjelaskan proses pemerolehan semantik (makna)
berdasarkan teori mediasi atau penengah ini. Menurutnya, makna merupakan hasil proses
pembelajaran dan pengalaman seseorang dan merupakan satu proses mediasi untuk
melambangkan sesuatu. Makna sebagai proses
mediasi pelambang dan merupakan satu bagian yang distingtif dari keseluruhan
respon terhadap satu objek yang telah dibiasakan pada kata untuk objek itu.
Makna ini sebagai satu proses mediasi untuk merangsang seseorang memberikan
respon dengan cara tertentu pada objek asli, terutama memberikan respon
linguitik (bahasa).
Osgood juga memperkenalkan konsep sign (tanda atau isyarat)
sehubungan dengan makna ini. Menurut teori perilaku Osgood ini, maka semua sign
baik dalam linguisitk ataupun bukan, bergantung pada proses-proses mediasi pelambang
atau penengah pelambang. Proses-proses mediasi pelambang ini berkembang melalui
hubungan yang terjadi antara sign dengan objek dan peristiwa yang
terjadi ketika manusia berinteraksi.
Teori
mediasi ini kaitannya dengan pembelajaran adalah ketika guru mengajarkan makna
atau istilah pada siswa, guru dapat memberikan kata kunci atau penengah. Makna atau yang pasti atau
acuan agar siswa merespons secara baik dengan memberikan arahan. Siswa dapat
dengan mudah menemukan makna dari suatu kata.
h.
Teori dua faktor
dari Mouwer
Teori ini
yang masih termasuk golongan teori S- R diperkenalkan oleh D. Hobart Mouwer
(1960). Teori ini disebut teori dua faktor yang disempurnakan karena menurut
Mouwer ada dua jenis pengukuhan, padahal teori sebelumnya hanya menganggap ada
satu jenis pengukuhan. Kedua jenis pengukuhan itu, menurut Mouwer, adalah:
1. Pengukuhan
bertambah (incremental reinforcement)
2.
Pengukuhan berkurang (decremental reinforcement)
Menurut
teori Mouwer ini, perasaan takut dan perasaan mengharapkan sesuatu, begitu juga
dengan perasaan lega dan kecewa, merupakan reaksi-reaksi penengah atau mediasi
yang telah dilazimkan terhadap rangsangan yang berhubungan dengan suatu gerak
balas (respons) yang membangkitkan ganjaran atau hukuman. Mouwer yakin betul
bahwa pembiasaan emosi pengharapan dan emosi ketakutan merupakan kunci proses
pembelajaran.
Teori
Mouwer ini sebenarnya masih lebih cendrung kepada behaviorisme karena
emosi-emosi itu harus terlebih dahulu dibiasakan terhadap rangsangan lingkungan
sebelum mendapat kekuatan sendiri untuk membangkitkan reaksi. Teori Mouwer ini
telah lebih maju sedikit daripada behaviorisme Watsory karena mengakui adanya
proses mediasi atau penengah. Oleh karena itu, teori ini termasuk dalam
neobehaviorisme bersama Osgood.
Dikatakan
bahwa, teori-teori belajar hasil eksperimen mereka secara prinsipal bersifat
behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Namun seiring dengan kemajuan zaman
dan perkembangan ilmu pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa kelemahan,
yang menuntut adanya pemikiran teori belajar yang baru. Dikatakan bahwa, teori-teori
behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot, padahal setiap
manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan pengendalian
diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak
respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan
kata hati, dan proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan
itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan
psikis antara manusia dan hewan. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai kelemahan
teori behaviorisme.
Teori
dua faktor
ini kaitannya dengan pembelajaran adalah dengan cara guru dituntut memberikan
hukuman/ganjaran sesuai dengan kesalahan yang diperbuat siswa. Hukuman tersebut
bertujuan untuk menambah respons terhadap belajar siswa. Perubahan perilaku
tersebut seperti dari yang tidak bergerak menjadi bergerak. Jika siswa telah
berubah maka kurangi hukumannya.
2.3.2 Teori-Teori Kognitif
a.
Deskripsi
Tentang Teori Kognitif
Istilah “Cognitif” berasal dari kata “Cognition”
yang padanannya “Knowing”, berarti mengetahui. Dalam arti luas,
cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan
(Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi
populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis
manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan
keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan
konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa
(Chaplin, 1972).
Istilah “cognitive
of theory learning” yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan
bahwa belajar adalah merupakan proses pemusatan pikiran (kegiatan mental)
(Slavin (1994). Teori belajar tersebut beranggapan bahwa individu yang
belajar itu memiliki kemampuan potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat
kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku yang sederhana, maka
dalam hal belajar menurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar dari
pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan stimulus dan respon.
Lebih dari itu, belajar juga melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Yang menjadi prioritas perhatian adalah pada proses bagaimana suatu ilmu yang
baru bisa berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya dikuasai oleh
masing-masing individu.
Teori
kognitif ini, yang didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses
pertumbuhan, yaitu dari bayi kemudian anak berkembang menjadi individu yang dapat
bernalar dan berfikir menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi
deskripsi demikian ialah pengertian Jean Piaget mengenai perkembangan intelek
dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler, 1991).
Dalam praktek belajar, teori
kognitif terwujud dalam: “tahap-tahap perkembangan belajar” oleh Jean Piaget,
“belajar bermakna” oleh Ausuber, dan “belajar penemuan secara bebas” (free
discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang
menurut kognitifist dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi
dengan lingkungan yang berkesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah,
tetapi merupakan proses yang mengalir serta sambung-menyambung, dan menyeluruh.
Seperti halnya proses membaca, bukan sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang
terpisah-pisah; tetapi menggabungkan kata, kalimat atau paragraf yang diserap
dalam pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu, mengalir total secara bersamaan.
Tidak seperti model-model
behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan S-R
yang bersifat superfisial, kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang
sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku
seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan-tujuannya.
Belajar
itu sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman,
yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga
menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan
dengan konteks seluruh situasi tersebut. Membagi keseluruhan situasi menjadi
komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah adalah sama dengan
kehilangan sesuatu yang penting.
Belajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan
informasi, emosi dan faktor-faktor lain. Belajar, mencakup pengaturan
stimulus yang diterima dan dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk
di dalam pikiran sesorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Jadi
hubungan S – R pada teori kognitivisme yaitu.
S ——-> Perubahan internal tiap
individu
R ——-> Respons
b. Tokoh
Teori Kognitif
1)
Teori
Perkembangan Jean Piaget
Jean
Piaget (1896-1980) lahir di Swiss, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi
kognitif, yang pada awal mulanya bukanlah seorang psikolog melainkan seorang
ahli biologi, tetapi telah berhasil menulis lebih dari 30 buku bermutu, yang
bertemakan perkembangan anak dan kognitif (Syah, 1996:66).
Menurut
Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses
yang didasarkan atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistim syaraf.
Dengan semakin bertambahnya usia sesesorang maka semakin komplekslah susunan
sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.
Pada saat
seseorang tumbuh menjadi dewasa, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya
dan akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif dalam struktur
kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru maka
informasi tersebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif
yang dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur
kognitifnya yang harus diseuaikan dengan informasi yang diterima, maka proses
ini disebut akomodasi. Jadi asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila
terjadi konflik koginitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah
diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi akan
terjadi apabila telah terjadi keseimbangan dalam struktur kognitif. Tugas
seorang dosen dalam proses belajar mengajar adalah menyajikan materi yang harus
dipelajari mahasiswa sedemikian rupa sehingga menyebabkan adanya ketidak
seimbangan kognitif pada diri mahasiswa. Dengan demikian ia akan berusaha
untuk mengadopsi informasi baru ke dalam struktur kognitifnya yang telah ada.
Menurut
Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap
perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hirarkis
artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat
belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Di sini terdapat empat
macam jenjang, mulai jenjang sensomotorik (0 – 2 tahun) yang bersifat
eksternal, pre-operasional (2 – 6 tahun), operasional konkrit (6/7 – 11/12
tahun) dan jenjang formal (11/2 – 18 tahun) yang bersifat internal (mampu
berfikir abstrak atau mengadakan penalaran). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat perkembangan individu tersebut pada 4 tahapan. Yang
pertama adalah sensori motor, yakni perkembangan ranah kognitif
yang terjadi pada usia 0 – 2 tahun. Yang kedua adalah pre-operational,
yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2 – 7 tahun. Yang
ketiga adalah concrete operational, yakni perkembangan ranah kognitif
yang terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Yang terakhir adalah formal operational,
yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11 sampai dewasa awal
(Slavin, 1994:14).
Yang
merupakan titik pusat teori Perkembangan Kognitif Piaget ialah bagaimana individu
mengalami kemajuan tingkat perkembangan mental atau pengetahuan ke tingkat
yang lebih tinggi. Hal yang pokok dalam teori ini adalah kepercayaan bahwa
pengetahuan dibentuk oleh individu dalam interaksi dengan lingkungan yang
terus-menerus dan selalu berubah.
Dalam
usahanya memahami mekanisme perkembangan kognitif, Piaget menyampaikan fungsi
kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiganya adalah: (1) proses mendasar yang
terjadi dalam interaksi dengan lingkungan (asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi),
(2) cara bagaimana pengetahuan disusun (pengalaman fisik dan
logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif dalam berfikir pada berbagai
tahap perkembangan (skema tindakan) mulai dari sensomotorik, pra-operasional,
operasional konkrit dan operasional formal.
Perkembangan
kognitif menurut Piaget (1977) dipengaruhi oleh tiga proses dasar: asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi. Secara singkat, asimilasi ialah pemaduan data atau
informasi baru dengan struktur kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian
struktur terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang
terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Gredler,
1991:311).
Berikut
adalah kelemahan-kelemahan dari teori Piaget. Belajar individual tidak dapat
dilaksanakan karena untuk belajar mandiri diperlukan kemampuan kognitif yang
lengkap dan kompleks dan tidak bisa diuraikan dalam jenjang-jenjang.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan-keterampilan kognitif
tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum mencapai umur yang
sesuai dengan jenjang-jenjang teori Piaget. Sebaliknya, banyak orang yang tidak
mencapai tahap operasional formal tanpa adanya manipulasi hal-hal yang
bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pemberian model dll.
Keterampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan, bukan berdasarkan
tahapan umur.
2) Teori Kognitif Jerome S. Bruner
Jerome
S. Bruner adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan pakar psikologi
belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain persepsi
manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia
menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi (Dahar,
1988).
Dalam
pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan
pada tingkah laku seseorang. Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif
berpengaruh pada perkembangan bahasa seseorang, maka sebaliknya Bruner
menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan
kognisi.
Menurut
Bruner, perkembangan kognisi seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan
oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap en-aktif, di
mana individu melakukan aktivitas-aktivitas untuk memahami lingkungannya.
Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia melihat dunia atau lingkungannya
melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap
simbolik, di mana ia mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak dipengaruhi
bahasa dan logika; komunikasi dilakukan dengan bantuan sistem simbol. Makin
dewasa makin dominan pula sistem simbol seseorang.
Untuk
belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai
suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan sudah diatur
dengan baik, maka individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan
kata lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara
mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pendidikan disebut
“kurikulum spiral” di mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang bertingkat,
dan materinya disesuaikan pula dengan tingkat perkembangan kognisi seseorang.
Prinsip-prinsip
belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan
intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap
stimulus yang diberikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan
kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi
yang diterima dari luar perlu diolah secara mental.
Perkembangan
intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan
gagasan melalui simbol. Untuk mengembangkan kognisi seseorang diperlukan
interaksi yang sistematik antara pengajar dan pembelajar. Dalam Perkembangan
kognisi seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin meningkat pula kemampuan
untuk memikirkan beberapa alternatif secara serentak dan kemampuan untuk memberikan
perhatian terhadap beberapa stimuli dan situasi sekaligus.
Menurut
Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin
dihindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah banyak
dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir intuitif sangat penting
untuk ahli matematika, biologi, fisika, dll. Selanjutnya dikatakan bahwa
setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan prosedur
yang harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara terbaik untuk
belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif
hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).
3)
Teori
Belajar Bermakna David Ausubel
Ausubel
(1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak
pada psikologi kognitif, dan dalam teorinya memberi penekanan kepada belajar
bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar.
Belajar menurut Ausubel dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi: (1) berhubungan
dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui ekspository
maupun inquiry, (2) menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan
data atau informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski,
1981).
Kelemahan-kelemahan
teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu menekankan
belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari
perlu dihafal secara arbitrari, padahal belajar seharusnya adalah apa yang
disebut dengan asimilasi bermakna. Asimilasi bermakna, materi yang dipelajari,
perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan sebelumnya yang telah
ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial
bermakna dan dipilih serta diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat
perkembangan dan pengetahuan pembelajar; dan b) suatu situasi belajar yang
bermakna. Faktor motivasional memegang peranan yang penting di sini, sebab
pembelajar tidak akan mengasimilasi materi baru tersebut apabila mereka tidak
mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu
diatur oleh pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan.
Sifat atau
karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang
apabila dipakai dapat meningkatkan kemampuan pembelajar untuk mempelajari
informasi baru. Advance organizer ini merupakan kerangka berbentuk
abstraksi atau ringkasan-ringkasan dari konsep dasar apa yang harus dipelajari
serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur kognisi pembelajar.
Dalam
proses belajar mengajar, seorang pengajar dapat menerapkan prinsip belajar bermakna
oleh Ausubel, melalui langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengukur
kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognisi) melalui tes awal,
interview, review, pertanyaan dll. Kedua, memilih materi, mengaturnya dan menyajikan
konsep-konsep inti, dimulai dari contoh konkrit dan contoh kontroversial. Ketiga,
mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus diketahui dari materi baru dan menyajikan
suatu pandangan menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari. Keempat, memakai
advance organizers; agar pembelajar dapat memahami konsep-konsep dan
prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.
Perbedaan
antara teori Bruner dan teori Ausubel adalah Teori Bruner menekankan adanya penemuan
sedangkan Ausubel menekankan adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasikan
oleh pembelajar. Sedangkan persamaannya adalah keduanya menekankan belajar
bermakna dan pemahaman, meskipun menurut Bruner hal tersebut harus ditemukan
secara induktif. Namun menurut Ausubel hal tersebut dapat diasimilasi secara
deduktif; yakni belajar tidak hanya merupakan pengulangan secara verbatim.
Pendapat
keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana sesuatu
itu dipelajari dan dihubungkan dengan bahan-bahan lain serta bagaimana menemukan
arti hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari
seseorang harus dihubungkan dengan apa yang telah ada dalam struktur
kognitif. Keduanya menekankan pentingnya mempelajari konsep dan prinsip.
Keduanya merupakan teori belajar kognitif yang mempelajari proses dalam
pikiran.
4) Teori Medan Gestalt dari
Wertheimer
Menurut Wertheimer, teori pembelajaran hanya mungkin mempunyai makna
jika kesadaran diikutsertakan sebagai satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
persepsi dan pembelajaran. Dalam hukum kesamaan mengenai pembalajaran bahasa,
kata-kata atau suku kata yang mempunyai persamaan lebih mudah dipelajari
daripada kata-kata atau suku kata yang tidak mempunyai persamaan. Adanya
persamaan pada data linguitik ini memudahkan proses pembelajaran bahasa, baik
dalam belajar bahasa pertama maupun bahasa kedua.
Dalam hukum proksimiti atau kedekatan mengenai pembalajaran bahasa
adalah kata-kata atau frasa-frasa dan ungkapan-ungkapan yang bersamaan maknanya
hendaklah muncul bersama-sama dalam masa-masa yang teratur menuruti hukum
proksimiti agar lebih mudah dipelajari dan diingat.
Menurut Wertheimer, teori pembelajaran hanya mungkin mempunyai makna
jika kesadaran diikutsertakan sebagai satu unsur yang tidak dapat dipisahkan
dari persepsi dan pembelajaran. Dalam hukum kesamaan mengenai pembalajaran bahasa, kata-kata atau suku kata yang
mempunyai persamaan lebih mudah dipelajari daripada kata-kata atau suku kata
yang tidak mempunyai persamaan. Adanya persamaan pada data linguitik ini
memudahkan proses pembelajaran bahasa, baik dalam belajar bahasa pertama maupun
bahasa kedua.
Dalam hukum proksimiti atau kedekatan mengenai pembalajaran bahasa
adalah kata-kata atau frasa-frasa dan ungkapan-ungkapan yang bersamaan maknanya
hendaklah muncul bersama-sama dalam masa-masa yang teratur menuruti hukum
proksimiti agar lebih mudah dipelajari dan diingat.
2.4 Aplikasi Prinsip Kognitivisme dalam Pembelajaran
Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam
perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi
kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi didefinisikan
sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang ketika mengintegrasikan
unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual.
Proses ingatan merupakan pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory)
dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti penyimpanan
informasi (strorage), dan kemudian mengungkapkan kembali
informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan
adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif
adalah “Information Processing Model” yang mendeskripsikan: proses
penyandian informasi, proses penyimpanan informasi, dan proses pengungkapan
kembali suatu informasi atau pengetahuan dari konsepsi pikiran. Model
tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar riset atau
pembahasan mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran. Jadi, dalam model
ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-transformasi
informasi dimulai dari input (masukan) berupa stimulus hingga menjadi output
(keluaran) berupa respon (Slavin, 1994).
Dengan
demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan selanjutnya
suatu perubahan bertahap. Dalam tahap pengelolaan informasi yang berasal dari
stimulus eksternal, Bruner menyampaikan tahap tersebut menjadi tiga fase
dalam proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3)
fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan menurut Witting (1981) setiap proses belajar
akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition
(tahap perolehan atau penerimaan informasi), (2) Storage (tahap penyimpangan
informasi), dan (3) Retrieval (tahap menyampaikan kembali informasi).
Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi:
(a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila
pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b) penyusunan
materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan
memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian
penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual pada pembelajar harus
diperhatikan.
2.5 Perbedaan Teori Belajar Behaviorisme dan Kognitivisme
Proses belajar menurut behaviorisme
merupakan suatu mekanisme yang periferik dan terletak jauh dari otak,
sedangkan menurut kognitivisme proses belajar terjadi secara internal di
otak dan meliputi ingatan dan pikiran.
Hasil
belajar menurut behaviorisme merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya
urutan respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar
sebagai suatu struktur kognitif tertentu.
Menurut
teori Behaviorisme, belajar merupakan proses trial and error, dan
adanya unsur-unsur yang sama antara masalah sekarang yang dijumpai dengan apa
yang pernah dijumpai sebelumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekankan adanya
pemahaman tentang apa yang dihadapi sekarang dengan yang telah dijumpai
sebelumnya.
Para pakar
psikologi kognitif melihat situasi belajar erat kaitannya dengan memori.
Memori yang biasanya diartikan ingatan, yakni merupakan fungsi mental yang menangkap
informasi dari stimulus, dan merupakan storage system, yakni sistem
penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak manusia.
Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang
terdiri dari tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register, (2) Short
term memory, dan (3) Long term memory (Bruno, 1987).
Dengan
adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pembelajar
diharapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perhatian pembelajar.
Lindsay
dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory
(ingatan). Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali tidak
mudah untuk dipenuhi. Kedua, materi yang harus dihafal atau diingat seharusnya
berhubungan dengan hal-hal: menguraikan dengan kata-kata sendiri dan
menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu. Ketiga, menghafal
atau mengingat memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam
kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali bersama-sama
dalam pola ingatan yang berarti (Dahar, 1988).
2.5.1
Kelebihan dan Kelemahan Teori Stimulus Respons dan Teori Kognitif
a.
Teori Stimulus Respon
Kelebihan Teori Stimulus Respon.
Sesuai
untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktik dan pembiasaan yang
mengandung unsur-unsur seperti kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleks.
Kelemahan Teori Stimulus Respon
Dikatakan bahwa, teori-teori
behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot, padahal setiap
manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan pengendalian
diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak
respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan
kata hati, dan proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan
itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan
psikis antara manusia dan hewan. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai kelemahan
teori behaviorisme.
b.
Teori
Kognitif
Kelebihan
Teori Belajar Kognitif
1.
Menjadikan
siswa lebih kreatif dan mandiri. Dengan teori belajar kognitif siswa dituntut
untuk lebih kreatif karena mereka tidak hanya merespon dan menerima
rangsangan saja, tapi memproses informasi yang diperoleh dan berfikir untuk
dapat menemukan ide-ide dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan membuat siswa
lebih mandiri contohnya pada saat siswa mengerjakan soal siswa bisa mengerjakan
sendiri karena pada saat belajar siswa menggunakan fikiranya sendiri untuk
mengasah daya ingatnya, tanpa bergantung dengan orang lain dengan.
2. Membantu siswa memahami bahan belajar
secara lebih mudah karena siswa sebagai peserta didik merupakan peserta aktif
didalam proses pembelajaran yang berpusat pada cara peserta didik
mengingat, memperoleh kembali dan menyimpan informasi dalam ingatannya. Serta
Menekankan pada pola pikir peserta didik sehingga bahan ajar yang ada lebih
mudah dipahami.
Kelemahan
Teori Belajar kognitif
a. Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.
b.
Sulit
dipraktikan khususnya di tingkat lanjut
c.
Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit
dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
a.
Teori
linguistik membahas empat aliran yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure,
yang menganut paham psikologi kognitif, behavioristik, dam pragmatik, Leonard
Bloomfield yang menganut psikologi behavioristik, John Rupert Firth yang
menganut aliran pragmatik, dan yang dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menganut
paham kognitif.
b.
Dalam teori stimulus-respons membahas
delapan teori yang berkaitan dengan pembelajaran psikologi bahasa. Delapan
teori tersebut adalah teori pembiasaan klasik dari pavlov, teori penghubungan
dari thorndike, teori behaviorisme dari watson, teori kesegeraan dari guthrie,
teori pembiasaan operan dari skinner, teori pengurangan dorongan dari hull,
teori mediasi dari osgood, dan teori dua faktor dari mouwer.
c.
Teori stimulus-respons ini memiliki
dasar pandangan bahwa perilaku itu, termasuk perilaku berbahasa, bermula dengan
adanya stimulus (rangsangan, aksi) yang segera menimbulkan respons, (reaksi,
gerak balas). Teori ini dalam pembelajaran sangat bermanfaat untuk melihat
bagaimana rangsangan siswa dan bagaimana reaksi siswa terhadap
pembelajaran.
d.
Dari pembahasan Teori Belajar kognitif
dapat kami simpulkan sebagai berikut
a. Proses teori belajar kognitif
a. Proses teori belajar kognitif
Teori
belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar
itu sendiri. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan antara stimulus
dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berikir yang sangat
kompleks.
b. Pandangan Teori Belajar Kognitif adalah:
b. Pandangan Teori Belajar Kognitif adalah:
1) Elemen
terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap
individu.
2) Perilaku
manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan
oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri.
3)
Belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk
dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain,
aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni
pengolahan informasi.
4)
Belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral yang
bersifat jasmaniah meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata
dalam hampir setiap peristiwa
belajar siswa.
5)
Teori belajar kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental
manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tak dapat diukur dan diterangkan
tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan dan
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2002.Psikolinguistik
Kajian Teori.Jakarta:Rineka Cipta
Dardjowidjojo,
Soejono.2005. Psikologi Suatu Pengantar
Bahasa Manusia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mar’at,
Samsunuwinati.2005.Psikolinguistik Suatu
Pengantar.Bandung:PT. Radika Aditama.
Nababan, Sri
Utari Subyakto.1992.Pikolinguistik:Suatu
Pengantar.Jakarta:Gramedia.
Surastina.2010.Psikolinguistik
Sebuah Pengantar.Yogyakarta:Anggota IKAPI
Arip, M. Zuari Antoni.2011.Teori Belajar Behaviorisme Kognitivisme dan
Kontruktivisme.Wordpress.com. Diakses pada tanggal 19 September 2014.
Chania.2013. Pengajaran Stimulus-Respon.
Blogspot.com. Diakses pada tanggal 19 September 2014.
Ilma. 2012.Penerapan Teoro-Teori Behaviorisme dan Teori
Kognitif dalam Pembelajaran Bahasa.wordpress.com. Diakses pada tgl. 19
September 2014.
Saputra, Andi. 2012.Contoh
Makalah Belajar dan Pembelajaran.www. Fourseasonnews. blogspot.com. Diakses pada tgl. 19 September 2014.
Sky, Ninaz.2008. Teori
Linguistik.Just drop by. blogspot.com. Diakses pada tgl. 19 September 2014.